About

check

Rabu, 24 September 2008

[ Politik Tionghoa ] Cheng Ho, Islam dan Indonesia

shagua8000

Kin San aka Raden Husein yg masih saudara sepupu Sultan Demak Tan
Jin Bun tiada lain adalah Sunan Kudus, salah satu dari Walisongo yg
menyebarkan Islam di Jawa.

Gan Eng Cu adalah Sunan Kalijaga, mantan
Kapitan Tionghoa di Manila yg salah satu anak perempuannya menjadi
ustadzah yg ternama disepanjang pantara Jawa dan dikenal dlm sejarah
sbg Nyi Ageng Manila karena lahir di Manila.

Memang ironis bhw dewasa ini tdk banyak org Tionghoa yg beragama
Islam di Indonesia, sedangkan pd masa penyebaran Islam dari daratan
Tiongkok ke Jawa, sbgn besar org Tionghoa di Jawa beragama Islam dan
mereka mayoritas bkn mualaf melainkan berasal dari keluarga yg asli
Islam dari Tiongkok. Karena alasan2 sejarah ttu maka jumlah penganut
Islam dari kalangan Tionghoa di Indonesia berkurang drastis. Pd
jaman Belanda, banyak Tionghoa muslim dipulangkan ke Tiongkok sbg
akibat dari kesepakatan antara pemerintah Hindia Belanda dan
pemerintah Qing di Tiongkok utk mengatasi masalah Huaqiao yg tatkala
itu mayoritas muslim.

Penguasa Qing yg beretnis Manchu berantipati tdp mayoritas etnis Han
(bangsa Tionghoa) yg ingin mengembalikan Tiongkok kpd kedaulatan
kaum mayoritas (Han). Umat Islam selalu muncul di garis depan sbg
pemelopor gerakan Restorasi Kedaulatan Bangsa Han, mereka bersama
umat non-muslim sering membangkang melawan penguasa Manchu dan
buntut2nya jutaan orang Islam dibantai di Tiongkok. Satu contoh
adalah pembangkangan Sultan Du Wenxiu yg mulai thn 1856, pendiri
kerajaan Taiping Nan di Yunnan.

Gerakan mengusir Manchu ini ditindas habis para penguasa dan
alhasil, pembantaian yg terjadi menyebabkan penyusutan dlm jumlah
mukmin di Yunnan sehingga hanya tersisa sbg 30% dari jumlah penduduk
propinsi itu dewasa ini - banyak orang Islam mengungsi dari Yunnan
ke daerah Chiangmai di Thailand Utara dimana mereka masih menguasai
ekonomi setempat hingga kini, mereka disebut dgn Chin Haw (Tionghoa
pegunungan) oleh pribumi Thailand.

Nah kemudian pd thn 1911, umat Islam berperan vital dlm revolusi yg
diprakarsai Dr Sun Yat-Sen utk mendirikan Republik Tiongkok. Beliau
memberi sambutan khusus kpd mukmin Tiongkok sbg ucapan terima kasih
atas sumbangsih mereka. Pd waktu yg bersamaan dgn itu, gerakan
nasionalis Tiongkok yg bertumbuhkembang di Hindia Belanda terasa
gemanya juga dan cukup banyak orang Tionghoa setempat mulai mengenal
dan memeluk Islam.

Mereka mengadakan kerjasama dgn Sarekat Dagang Islam utk memperbaiki
keadaan bagi kaum Tionghoa dan pribumi, namun Belanda kebakaran
jenggot melihat perbaikan hubungan antara keduabelah pihak dan
menerapkan jurus adu domba yg amat sangat ampuh. Terjadilah
serentatan kerusuhan anti-Tionghoa di kota2 Jawa mulai dari Solo
dimana pasukan Mangkunegaran berkedok militan SDI yg dikerahkan
Belanda utk membantai ribuan orang Tionghoa di Pecinan.

Akibatnya, terjadi salah faham antara organisasi2 Tionghoa dan SDI
dan orang Tionghoa semakin curiga dan benci tdp Islam. Program
Kristenisasi yg dilakukan Belanda tdp kaum Tionghoa lebih berhasil
dan banyak orang Tionghoa lebih cenderung mengabdi kpd Belanda
karena menganggap ras kulit putih dgn janji kehidupan abadi di alam
baka dlm cinta kasih "Tuhan Yesus" sbg satu2nya jln menuju
keselamatan.

Nah dlm kaitan dgn sejarah masuknya Islam dari Tiongkok ke Jawa pd
jaman Dinasti Ming. Upaya2 penyelewengan dan pengaburan sejarah tsbt
oleh Belanda memang berlangsung sejak lama tetapi terpicu dgn
masalah kebangkitan nasionalisme Tiongkok di Hindia Belanda dan
kerjasama yg mereka lakukan dgn kaum pribumi. Belanda takut kalau
kedua golongan bersatu utk mengakhiri kekuasaan kolonial dan
berupaya sebisa mungkin melanggengkan rezim aparteid yg mana tiap2
kelompok hidup dlm keterpecahbelahan tanpa sadar bhw mereka
sebenarnya senasib dan sepenanggungan.

Kita yakin bhw sejarah Zheng He dan Walisongo yg berhasil menyatukan
Tiongkok dan Jawa menjadi pelajaran bagi pemuda-pemudi, baik
Tionghoa maupun pribumi - bhw sedianya tdk ada alasan mengapa kita
harus bermusuhan. Dulu pd jaman Dinasti Ming (1368-1644), Islam
menjadi perekat antara bangsa2 Asia itu contoh yg bagus utk kita
pelajari bkn spt mualaf2 "Cina" yg dewasa ini pindah agama dgn
pamrih sendiri - demi kepentingan politik dan bisnis tanpa acuh pd
kelompok sendiri yaitu bangsa Tionghoa - itu namanya munafik dan
pengkhianat bangsa.


--- In Politik_Tionghoa@yahoogroups.com, "HKSIS" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> ----- Original Message -----
> From: ikun
> To: Chan CT
> Sent: Wednesday, June 22, 2005 11:57 AM
> Subject: Cheng Ho, Islam, dan Indonesia
>
>
> Cheng Ho, Islam, dan Indonesia
> Oleh: Sumanto Al Qurtuby
> TAHUN 2005 ini merupakan tahun yang sangat istimewa bagi
masyarakat Tionghoa di belahan bumi mana pun tak terkecuali
Indonesia. Sebab pada tahun ini genap 600 tahun pelayaran kolosal
tokoh legendaris Tiongkok Cheng Ho sejak menginjakkan kaki pertama
tahun 1405. Untuk menyambut ulang tahun ke-600 pelayaran Cheng Ho
ini, masyarakat Tionghoa mengadakan berbagai aktivitas baik sosial,
intelektual sampai ritual.
>
> Di Singapura juga akan digelar The Third International Conference
of Institutes & Libraries for Chinese Overseas Studies tanggal 18-20
Agustus mendatang yang tujuan utamanya juga untuk mengenang sang
maestro Cheng Ho. Acara ini diselenggarakan kerja sama Universitas
Ohio, Departemen Luar Negeri Singapura dan International Cheng Ho
Society. Kebetulan, oleh panitia saya diundang sebagai salah satu
pembicara di forum tersebut guna mempresentasikan tentang Cheng Ho,
Islam dan Indonesia.
>
> Kenapa panitia dalam hal ini Prof. Dr. Leo Suryadinata meminta
saya menyampaikan tema di atas? Sebab menurutnya, sejarah Cheng Ho
tidak bisa dilepaskan dengan Islam dan Indonesia.
>
> Historisitas Cheng Ho memang tidak bisa dilepaskan dengan Islam
dan Indonesia yang dulu Nusantara. Cheng Ho memang layak untuk
dikenang. Kisah pelayarannya tidak hanya menorehkan jejak sejarah
yang mengagumkan di setiap negara yang dilaluinya ( laporan khusus
Time di bawah tajuk The Asian Voyage: In the Wake of the Admiral,
August 20-27, 2001) tetapi juga telah mengilhami ratusan karya
ilmiah baik fiksi maupun non-fiksi serta penemuan berbagai teknologi
kelautan-perkapalan di Eropa khususnya pascapenjelajahan sang
maestro. Legenda Sinbad Sang Pelaut yang begitu populer di Timur
Tengah juga diinspirasi oleh kisah legendaris Cheng Ho. Di
Indonesia, terutama Jawa, juga terdapat jejak historis yang tak
terbantahkan sebagai pengaruh misi muhibah Cheng Ho. Selain itu,
juga cukup banyak berbagai karya sastra yang bertutur tentang Cheng
Ho/Sam Po Kong seperti yang ditulis Remy Silado.
>
> Cerita lisan Dampu Awang yang begitu kuat di masyarakat pesisir
utara Jawa juga disinyalir merupakan pengaruh dari legenda itu.
>
> Siapakah Cheng Ho sehingga pengaruhnya begitu besar?
>
> Cheng Ho sebetulnya adalah nama yang diberikan oleh Cheng Tzu atau
Chu Teh yang lebih populer dengan sebutan Yung Lo, kaisar ke-3
Dinasti Ming yang berkuasa dari tahun 1403 sampai 1424. Nama asalnya
adalah Ma Ho, lahir 1370 M dalam keluarga miskin etnis Hui di Yunan.
>
> Hui ini adalah komunitas muslim Tionghoa campuran Mongol -Turki.
Karena jasanya dalam turut mengudeta Kien Wen, akhirnya Ma Ho diberi
jabatan penting oleh Kaisar Yung Lo sebagai pemegang komando atas
ribuan abdi dalem di Dinas Rumah Tangga Istana yang melayani kaisar
sebagai polisi rahasia (Seagrave, 1999).
>
> Ini merupakan jabatan sangat berpengaruh bukan seperti penunjukan
Paus atas kepala baru Opus Dei Vatikan. Sebagai bukti kepercayaan
sang kaisar pada Cheng Ho, ia diberi mandat untuk memimpin ekspedisi
laut sebagai Commander in Chief lewat sebuah dekrit kerajaan
(Imperial Decree). Sementara wakil dan sekretaris masing-masing
dipegang oleh Laksamana Muda Heo Shien (Husain) dan Ma Huan serta
Fei Shin (Faisal). Bertindak sebagai juru bahasa Arab, selain Ma
Huan yang memang mahir berbahasa Arab juga Hassan, seorang imam di
bekas ibukota Sin An (Changan). Dalam menjalankan politik diplomasi
laut ini, Kaisar Yung Lo mengeluarkan armada berjumlah 62 kapal
besar dengan 225 junk (kapal berukuran lebih kecil) dan 27.550 orang
perwira dan prajurit termasuk di dalamnya ahli astronomi, politikus,
pembuat peta, ahli bahasa, ahli geografi, para tabib, juru tulis dan
intelektual agama. Kisah itu kemudian ditulis antara lain di Ming
Shi (Sejarah Dinasti Ming).
>
> Sejak 1405, awal mula Cheng Ho mengadakan pelayaran sampai
wafatnya, 1433 ia telah mengadakan pelayaran selama 7 kali dan
mengunjungi lebih dari 37 negara: dari berbagai pelabuhan di
Nusantara dan Samudra Hindia sampai ke Sri Langka, Quilon (Selandia
Baru), Kocin, Kalikut, Ormuz, Jeddah, Magadisco dan Malindi. Dari
Campa hingga India, dan dari sepanjang Teluk Persia dan Laut Merah
hingga pesisir Kenya.
>
> Dilihat dari kuantitas dan waktu, ekspedisi Cheng Ho jauh
melampaui para pengembara mana pun di Eropa: Chistopher Columbus,
Vasco da Gama, Ferdinand Magellan, Francis Dranke dan lain-lain.
>
> Karena prestasinya yang luar biasa menjadikan Cheng Ho semakin
dimitoskan dan diberi julukan kaisar sebagai Ma San Bao (Ma Si Tiga
Permata). Julukan ini merupakan plesetan dari sejenis ungkapan
sayang Tionghoa.
>
> Dalam komunitas Tionghoa dewasa ini lepas dia seorang muslim atau
tidak, tokoh Cheng Ho ini menjadi semacam tokoh mitologi yang
diagungkan. Ia tidak hanya dipuja dan dikagumi sebagai seorang
Bahariwan Agung tetapi juga disembah sebagai dewa di berbagai
kelenteng dengan sebutan Sam Po Kong terutama oleh penganut agama
leluhur Tionghoa. Di kemudian hari,sang maestro ini dikenal dengan
berbagai sebutan: Sam Poo Tay Djin, Sam Poo Tay Kam, Sam Poo Toa
Lang dan lain-lain.
>
> Anakronisme Historis
>
> Ini adalah sebuah anakronisme historis. Sebab Cheng Ho yang
manusia biasa dan muslim itu kemudian diberhalakan sebagai dewa yang
disembah di kelenteng. Lebih menyedihkan lagi, sejarah Cheng Ho
selalu ditulis secara hagiografis yaitu berlebih-lebihan yang
cenderung melampaui manusia lumrah bukan menggunakan pendekatan
sejarah kritis. Akibatnya, sosok Cheng Ho tampil sebagai manusia
yang nyaris sempurna yang hanya pantas ada di alam mitos.
>
> Padahal Cheng Ho adalah seorang Muslim Tionghoa lumrah sebagaimana
yang lain yang tentunya juga memiliki keterbatasan sejarah. Jasa
terbesar dia barangkali adalah telah menjalin persahabatan antara
Tiongkok dengan negara atau kerajaan lain di dunia ini yang
diperkukuh dengan pertukaran kebudayaan yang masih tampak hingga
dewasa ini, termasuk di Jawa.
>
> Memang telah terjadi apa yang saya sebut sebagai Sino-Javanese
Muslim Cultures yang membentang dari Banten, Jakarta, Cirebon,
Semarang, Demak, Jepara, Lasem sampai Gresik dan Surabaya sebagai
akibat dari perjumpaan Cheng Ho dan Tionghoa Islam lain dengan Jawa.
>
> Bentuk Sino-Javanese Muslim Cultures itu tidak hanya tampak dalam
berbagai bangunan peribadatan Islam misalnya masjid, yang
menunjukkan adanya unsur Jawa, Islam, Tionghoa tetapi juga berbagai
seni/sastra, batik, ukir dan unsur kebudayaan lain. Sayang, fenomena
Sino-Javanese Muslim Cultures itu tidak terpelihara dengan baik
bahkan oleh masyarakat Tionghoa muslim sendiri.
>
> Banyak dari mereka yang tidak mengerti mengenai asal-
usul/genealogi mereka. Para sejarawan Tanah Air juga sangat langka
yang merawat atau memelihara kesejarahan akulturasi Tionghoa, Islam,
Jawa ini. Mereka umumnya terkena penyakit intellectual laziesness
atau kemalasan intelektual untuk melakukan penggalian sejarah yang
memang minim dokumentasi tertulis ini.
>
> Perpustakaan Nasional juga tidak menyimpan dokumen-dokumen
berharga kaitannya dengan kesejarahan
>
> Jawa terutama Jawa prakolonial sebuah kurun di mana perjumpaan
Tionghoa, Islam, Jawa mengalami intensitas tinggi. Gambaran suasana
mengenaskan ini saya dapatkan ketika melakukan riset untuk penulisan
buku Arus Tionghoa, Islam, Jawa.
>
> Oleh karena itu sangatlah wajar apabila setiap kali diadakan
pembicaraan mengenai asal-usul Islam di Jawa,para sejarawan selalu
mengulang-ulang teori klasik, sekaligus klise, yakni bahwa Islam
yang tersebar di Jawa ini melalui para pedagang dari India Belakang
(Gujarat) dan Timur Tengah terutama Persia. Padahal jika kita mau
jujur, bangsa Tionghoa-lah sebetulnya yang memiliki peran cukup
signifikan dalam proses Islamisasi di Jawa khususnya.
>
> Argumentasi ini tidak hanya didasarkan pada laporan sejarah yang
dilakukan Ma Huan (seorang muslim Tionghoa yang juga sekretaris
Cheng Ho) yang pada abad ke-15 mengunjungi pesisir Jawa tetapi juga
oleh beberapa pengembara asing lain seperti de Baros (Portugis),
Ibnu Battuta (Maghrib), dan Loedwicks (Belanda). Teks-teks babad
lokal juga menceritakan adanya orang-orang Tionghoa muslim yang
mempunyai pengaruh kuat dalam proses penyebaran Islam di Jawa.
>
> Fakta yang tak terbantahkan tentu saja adalah apa yang saya sebut
Sino-Javanese Muslim Cultures tadi. Ukiran padas di masjid kuno
Mantingan, Jepara , menara masjid di pecinan Banten (Jawa Barat),
konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik (Jawa Timur), arsitektur
Keraton dan Taman Sunyaragi di Cirebon (Jawa Barat), konstruksi
Masjid Demak (Jawa Tengah) terutama soko tatal penyangga masjid
beserta lambang kura-kuranya, konstruksi Masjid Sekayu di Semarang
dan sebagainya semuanya menunjukkan adanya keterpengaruhan budaya
Tionghoa yang sangat kuat.
>
> Peninggalan sejarah yang tak terelakkan dari masyarakat Tionghoa
muslim adalah dua masjid kuno yang berdiri megah di Jakarta, yakni
Masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun
Jeruk yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai.
>
> Bukti-bukti kesejarahan ini belum termasuk kelenteng kontroversial
yang diduga kuat oleh beberapa sejarawan sebagai bekas masjid yang
dibangun masyarakat Tionghoa muslim pada abad ke-15/16. Kelenteng-
kelenteng dimaksud adalah Kelenteng Ancol (Jakarta), Kelenteng
Talang (Cirebon), Klenteng Gedung Batu (Simongan, Semarang),
Kelenteng Sampokong (Tuban) dan Kelenteng Mbah Ratu (Surabaya).
Inilah sekelumit dari fakta Sino-Javanese Muslim Cultures di atas.
>
> Berdampingan Damai
>
> Fakta Sino-Javanese Muslim Cultures di atas sekaligus menunjukkan
bahwa komunitas Tionghoa di negeri ini pernah hidup berdampingan
secara damai dengan etnis lain, Jawa,Betawi. Mereka tidak hanya
saling tukar-menukar kebudayaan tetapi lebih dari itu juga
mengadakan perkawinan silang dengan perempuan setempat karena kita
tahu para pengembara Tionghoa pada waktu itu semuanya laki-laki.
>
> Kata nyonya yang begitu melekat dalam masyarakat kita pada awalnya
berasal dari akar kata Hokian nio atau niowa yang berarti perempuan
lokal yang dinikahi laki-laki Tionghoa.
>
> Dari sinilah maka tidak mengherankan apabila banyak masyarakat
Indonesia yang sebetulnya masih memiliki darah Tionghoa. Ini
misalnya ditunjukkan dengan adanya tembong biru pada pantat atau
bagian bawah lain dari bayi yang baru lahir. Tembong biru itu
mengisyaratkan bahwa si bayi mempunyai darah Mongoloid atau darah
Tionghoa (Mongoolse Vlek).
>
> Fakta harmoni Tionghoa -Jawa ini kemudian dirusak oleh Belanda
dengan menerapkan politik segregasi berupa passenstelsel, keharusan
bagi setiap orang Tionghoa untuk mempunyai surat jalan khusus
apabila hendak bepergian ke luar distrik tempat mereka tinggal, dan
wijkenstelsel, pelarangan bagi Tionghoa untuk tinggal di tengah kota
dan mengharuskan mereka membangun satu ghetto yang kemudian dikenal
dengan Pecinan sebagai tempat tinggal.
>
> Sejak itu Tionghoa menjadi terisolasi dari publik ramai, dan
menjadi eksklusif. Fakta ini diperparah dengan adanya penulisan
sejarah Jawa yang Nerlando-centris sehingga semakin mengucilkan
peran dan eksistensi masyarakat Tionghoa lebih-lebih Tionghoa muslim
di Indonesia.
>
> Apa yang saya sampaikan dalam paparan di atas tidak lain bahwa
sejarah Cheng Ho tidak hanya milik komunitas Tionghoa tetapi juga
masyarakat muslim dan bangsa Indonesia pada umumnya. Karena itu,
semua masyarakat, tidak hanya etnik Tionghoa saja, hendaknya turut
merayakannya dengan suka-cita. Usaha Pemerintah Kota Semarang dan
Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis) dalam
membangun Kelenteng Gedung Batu dan jejak Tionghoa lain guna
meramaikan ulang tahun pelayaran Cheng Ho ke-600 patut didukung oleh
semua lapisan masyarakat.
>
> Kita harus menyadari bahwa Tionghoa adalah bagian integral dari
sejarah lokal Indonesia, maka hidup bersama dalam keragaman budaya
merupakan konsekuensi logis yang harus kita terima dengan lapang
dada.(11)
>
> - Sumanto Al Qurtuby Direktur Eksekutif Ilham Institute Semarang;
tinggal di Harrisonburg, VA, USA
>
>
>
> Suara Merdeka, 2005/6/15
>
>
>
> Tanggapan atas Sumanto Al Qurtuby
> Cheng Ho Tak Mampir di Semarang
> ¡± Oleh: Saifur Rohman
>
> MENITI tulisan Sumanto Al Qurtuby bertajuk "Cheng Ho, Islam,
Indonesia" (SM, 15/6) membuat saya tak bisa menahan diri untuk
berdiam atau sekadar membiarkannya berlalu. Pada dasarnya Qurtuby
memberikan sketsa kebudayaan yang beranjak tujuh kali perjalanan
Cheng Ho ke seluruh dunia, termasuk ke Nusantara, pada kurun waktu
1405-1433. Dikatakan, "terdapat bukti sejarah yang tak terbantahkan
sebagai pengaruh muhibah Cheng Ho."
>
> Kemudian dia menyebut Kelenteng Sam Po Kong sebagai jejak
kesejarahan yang memperkuat mampirnya Cheng Ho di Gedongbatu,
Semarang. Bisa diberikan keterangan pendek sebelum tulisan ini
dipaparkan, kiranya tidak bisa dibayangkan bila pada awal muhibah
pada 1405 Cheng Ho langsung menuju Semarang sebagai target
perjalanan. Padahal menengok Semarang pada awal abad ke-15 adalah
daerah tak bertuan, karena Kerajaan Demak belum tampil dan Majapahit
masih menjadi bermahadiraja. Baru pada 1478 M tercatat sebagai tahun
pendirian Kerajaan Demak.
>
> Karena itu, betapapun besarnya perayaan yang akan dilangsungkan 7
Juli 2005 di Kelenteng Sam Po Kong, tetap saja harus dibaca sebagai
upaya memperkukuh dua pengandaian.
>
> Pertama, andai saja muhibah itu terjadi pada 1405, dan andai saja
laksamana muslim yang hidup pada Dinasti Ming itu memang berkunjung
ke Semarang. Perihal pengandaian pertama, laporan paling mutakhir
diturunkan majalah Time berjudul "Out to Sea with The Great Ship"
(edisi 20-27 Agustus 2001). Laporan itu diawali dengan kalimat mirip
puisi tentang kebesaran Cheng Ho yang mampu melawan badai, rasa
sakit, dan keadaan yang tidak menentu di tengah-tengah samudera.
>
> Di tengah-tengah puisi, penulis Tim McGirk menyatakan dengan
tegas, "More than 300 vessels with some 30.000 men sailed in the
first imperial expedition in 1405 (kolom 1)." Karena itu, dikatakan
bahwa Cheng Ho adalah penjelajah pertama kali dan memiliki awak
terbesar sepanjang sejarah. Untuk memperkuat dugaannya, kemudian dia
membandingkan dengan penjelajah lain setelah itu. Setelah ekspedisi
pertama Cheng Ho pada 1405, Christopher Columbus baru melakukan
penjelajahan pada 1492 dan menemukan daratan Amerika. Setelah
Columbus, Vasco da Gama yang berkebangsaan Portugis memulai pada
1497, Ferdinand Magellan berkebangsaan Portugis baru pada 1519, dan
Francis D Frake berkebangsaan Inggris menjelajah pada 1567.
>
> Alih-alih disamai, separuh kapal dan awak kapal yang dibawa Cheng
Ho itu pun tetap lebih besar dibanding para penjelajah setelahnya.
Cheng Ho adalah kata kunci bagi sejarah kebesaran China yang bisa
ditemui jejaknya di pelbagai belahan Nusantara.
>
> Perihal pengandaian kedua, teks kontemporer yang bisa dirujuk
adalah novel Remy Silado bertajuk "Sam Po Kong: Perjalanan Pertama"
(2004). Ceritera yang pada mulanya sebagai cerbung (cerita
bersambung) di Suara Merdeka (2003) itu mengisahkan perjalanan
seorang jenderal besar bernama Cheng Ho ke Semarang. Cerita ini
dilatarbelakangi oleh kesadaran historis, yang tidak sekadar
berpegang pada deskripsi geografis yang bersifat diakronis, tetapi
juga mitos-mitos yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
>
> Sebuah dialog menarik terjadi antara Laksamana Cheng Ho dengan
syahbandar pelabuhan Quinh No. Disebutkan oleh pencerita, pelabuhan
tersebut merupakan pertemuan antara China selatan dengan Nusantara
(2004: 124). Sebelum berpamitan, syahbandar sekali lagi menanyakan
kepergiannya. Dengan mantap Cheng Ho berujar bahwa dia bersama
ratusan awak kapalnya akan berlabuh ke Asem Arang. Perhatikan, idiom
yang disebut penutur merujuk pada etimologi Kota Semarang,
sebagaimana masyarakat Kota memercayai morfofonemik "Semarang"
berasal dari dua morfem "Asem" dan "Arang" (Bahasa Jawa: pohon asam
yang jarang).
>
> Kedatangan Cheng Ho di Asem Arang itu semakin diyakinkan melalui
konflik dengan kekuasaan Majapahit, terutama dengan Raja
Wikramawardhana. Berbeda dengan cerita yang berkembang di
masyarakat, bahwa Sam Po Kong adalah gelar Cheng Ho sebagai tokoh
yang dipuja. Dalam cerita ini Sam Po Kong digambarkan sebagai anak
buah Raja Majapahit yang siap mengadang Laksamana kapan saja, dan Wu
Ping selaku pengikut setia Laksamana akan siap membela atasannya
sampai mati.
>
> Narasi yang dibangun Silado bukanlah paparan yang semata-mata
ditelorkan dari angan-angan yang lepas dari kenyataan. Bila gagasan
Hans Robert Jauss tentang perspektif kesejarahan dalam karya sastra
itu bisa diterapkan, maka novel Sam Po Kong -sekalipun tidak bisa
dijadikan sebagai data sejarah- adalah butir-butir kenyataan yang
diikat melalui serangkaian mitos-mitos agar tafsir bisa berjalan.
>
> Ketidakpastian
>
> Armada yang dimpimpin Laksamana Cheng Ho disebut-sebut menyamai
armada Jepang dan Spanyol selama Perang Dunia II. Kapal yang
digunakan sang Laksamana memiliki panjang sekitar 130 meter, lebar
60 meter, dan digerakkan dengan teknologi kelautan yang begitu
canggih pada masanya. Dengan 300 kapal, sebagaimana dicatat oleh WP
Groenevelt, seorang Chinolog dan Indonesiolog, dalam Notes on the
Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinesse Source (1877),
Cheng Ho melakukan pelayaran selama tujuh kali selama 25 tahun,
yakni antara 1407-1432. Jumlah pelayaran itu dibenarkan pula oleh
catatan Melayu yang bertajuk Tuanku Rao (1964) oleh MO Parlindungan.
Akan tetapi, baik catatan Melayu maupun sumber Groenevelt yang
berasal dari China daratan tidak memastikan tahun-tahun Cheng Ho
berlabuh.
>
> Ketidakpastian tahun-tahun keberangkatan itu sama tidak pastinya
dengan tempat-tempat yang disinggahi, terutama ketika harus menyebut
Kota Semarang. Gedongbatu, Kecamatan Semarang Barat, yang saat ini
berada sekitar 15 km dari bibir laut disebut-sebut sebagai tempat
pendaratan Cheng Ho dan balatentaranya.
>
> Hal itu konon terbukti dengan hadirnya Kelenteng Sam Po Kong yang
disebut-sebut sebagai petilasan Cheng Ho. Keislamannya dibuktikan
dengan adanya makam Islam di sisinya yang dipercayai sebagai juru
mudi sang Laksamana. Ceritera yang turun-temurun itu setidaknya
dikukuhkan oleh Amen Budiman melalui Semarang Riwayatmu Dulu (1978).
Menurutnya, jenazah yang beristirahat di bawahnya adalah Dampo
Awang, juru mudi sang Laksamana yang memeluk agama Islam.
>
> Dalam mitologi Jawa, tokoh Dampo Awang selalu muncul di sejumlah
tempat di pesisir utara pulau Jawa. Di Jepara, Rembang, dan Tuban
dipercayai terdapat jangkar milik Dampo Awang.
>
> Kecuali itu, sebuah argumentasi menarik dipaparkan HJ de Graaf dan
Th Pigeaud, pakar sejarah Jawa yang disetarakan dengan Raffles,
dalam laporan Chinesse Muslims in Java in the 15th Centuries: The
Malay Annals of Semarang and Cerbon (1984). Dia mengkaji secara
kritis Catatan Melayu yang disusun Parlindungan. Paparan kronologis
itu berujung pada simpulan bahwa Laksamana Cheng Ho tidak pernah
mampir di Semarang. Argumentasi ini didasarkan atas dua hal.
Pertama, tidak ada bukti-bukti tertulis, baik dalam Catatan Cina
maupun dalam Catatan Melayu tentang persinggahan Sang Laksamana.
Kedua, tidak ada satu situs pun yang "mencurigakan" sebagai jejak-
jejak mereka sehingga bisa menyakinkan. De Graaf berulang kali
menandaskan dalam simpulannya, "Kapal Cheng Ho meninggalkan Fukkien
bukan sebelum Januari tahun 1414 (ini adalah awal ekpedisi
keempatnya) dan Ma Huan (juru bahasa muslim dan pembantu sang
Laksamana serta penulis jurnal ekspedisi) tidak menyebut Kota
Semarang di antara empat kota Jawa yang dia sebutkan, sehingga
pernyataan bahwa Cheng Ho di Semarang selama satu bulan tidak
mungkin benar (2004: 56)."
>
> Pernyataan tersebut tidak mengagetkan, karena Semarang pada abad
ke-15 adalah sebuah wilayah yang "tidak dikenal" oleh para pendatang
asing, karena letaknya menjorok ke dalam dan tidak ada daya tarik
secara ekonomi dan politik. Pada masa itu, keruntuhan
>
> Mahapahit pada awal abad ke-15 sekaligus memindahkan pusat
pemerintahan dari Jawa Timur ke Demak; itu pun puluhan tahun setelah
Cheng Ho meninggal sekitar tahun 1440. Kendati disinyalir kerajaan
Majapahit masih beroperasi pada pemerintahan Ratu Suhita (1429-1447)
sampai akhir abad ke-15, namun Demak berupaya melakukan klaim
kemenangan dengan menuliskan candra sengkala untuk keruntuhan
Majapahit yang berbunyi "sirna ilang kertaning bumi" (sirna= 0,
ilang = 0, kertaning= 4, bumi =1), yang bisa dibaca sebagai tahun
1400 Saka atau 1478 Masehi.
>
> Walhasil, menjadi jauh kemungkinannya bila Cheng Ho singgah di
sebuah pesisir yang tidak ramai. Sebab, di samping pemerintahan
Demak belum terbentuk dan pusat kekuasaan masih berada di bawah
tampuk pemerintahan Raja Wikramawardahana, juga alasan perbekalan
yang harus dipenuhi Cheng Ho sebelum berlayar kembali.
>
> Justru satu-satunya kota di Jawa yang disebut dalam sumber China
dan catatan Melayu adalah Jepara, sebuah kota kabupaten di pesisir
utara Jawa Tengah, sekitar 78 km dari Semarang. Pada masa itu (abad
ke-15), Kabupaten Jepara masih menjadi sebuah pulau dengan batas
lautan berada di wilayah Demak. Kota itu telah menjadi pelabuhan
internasional karena di sebelah utara Jepara terdapat pula situs
peninggalan ekpedisi Alfonso Darlbuquerque berkebangsaan Portugis,
diperkirakan pada abad ke-15.
>
> Lagi pula, kota Jepara bagi komunitas China bukanlah wilayah asing
untuk persinggahan. Pada abad ke-8, para penjelajah China sudah
mendiami kota di lereng gunung itu. Harian Locomotief yang terbit di
Semarang pernah menurunkan artikel bertajuk "Japarais Verleden"
(Jepara di Masa Lalu) pada 4-5 Maret 1931. Disebutkan, "Jepara atau
Djapara letaknja ada di tanah pegoenoengan Moeria . . . Satoe antara
itoe warta penting jang terdapet di ini bilangan adalah kota
dapetken satoe formulier soempah dalem Kawiorkonde tahun 762 Caka.
Dari dalam tanah telah dapet digali banjak sekali persolein-
porselein Tionghoa koeno yang indah. Di antara dongengan yang
tersiar, ada ditjeritakan tentang satu pelgrim (pendita) Tionghoa
doeloe telah diapatken katjilakaian dengan ia poenja kapal di
Jepara, kemoedian di Welahan ia dapetken banyak moerid."
>
> Dengan alasan itu pula, Liem Thian Joe dalam Riwajat Semarang
(Dari Jamannja Sam Poo Sampae Terhapusnja Kongkoan) (1931) menulis
bahwa pendatang Tionghoa yang menetap di Semarang bukanlah Cheng Ho,
melainkan Sam Po Tay Jien. Mereka berdua diutus oleh Dinasti Ming
untuk mencari batu permata ke Nan Yang (Asia Tenggara). Adanya
kelenteng di gua tersebut, katanya, menandai keberadaan komunitas
Sam Po pada masa itu, sedangkan makam Islam yang terdapat tak jauh
dari lingkungan kelenteng adalah juru mudi Sam Po yang beragama
Islam.
>
> Keterangan Thian Joe tampak ahistoris dan bertolak belakang dengan
de Graaf dan Catatan Melayu. Menurut de Graaf, kelenteng di
Gedongbatu didirikan oleh Gan Si Cang, anak bupati Tuban Gang Eng Cu
yang murtad dari Islam. Dia kemudian ditunjuk menjadi Kapitan Cina
non-Islam di Semarang oleh bapaknya. Keterangan ini selaras dengan
laporan Catatan Melayu, bahwa Gan Si Cang memiliki saudara bernama
Kin San, yang pada akhirnya ditunjuk ayahnya untuk menjadi penguasa
Islam di Semarang. Kin San di kemudian hari dikenal dengan nama Raja
Husein. Pemerintahan Raja Husein ini memiliki jalur koordinasi
dengan pemerintahan Demak yang dipegang oleh Jin Bun (Raden Fatah)
yang masih satu saudara dengan Gan Eng Cu maupun Kin San.
>
> Bila melihat masa kekuasan Raden Fatah, maka Gan Si Cang, si
Kapitan China non-Islam itu mestinya juga hidup pada masa itu dan
menjadi wajar bila akhirnya membangun komunitas kelenteng di
Gedongbatu, yang jauh dari pusat pemerintahan Islam. Adapun perihal
makam Islam yang dikeramatkan itu bisa disusun keterangan bahwa
pemukim di Gedongabtu bukanlah komunitas yang homogen, karena tidak
semua pendatang China yang semula berada di Jepara pada abad ke-8,
kemudian pindah ke Gedongabatu abad ke-15 dan ke-16, sampai akhirnya
ke kawasan Johar pada abad ke-19, adalah penganut Kong Hu Cu.
Apalagi masing-masing masa dipengaruhi oleh kekuasaan yang mampu
melakukan subordinasi pada komunitas yang bernaung di bawahnya.
>
> Sulitnya, titik-titik terang historis yang diharapkan mampu
membuka tabir kegelapan telah membeku menjadi mitos-mitos yang
bertebaran di sana-sini atas nama peringatan dan perayaan.
Perlawanan terhadap mitos adalah keberanian membongkar lapis demi
lapis ketidaksadaran kolektif dan menata dalam satu jalinan yang
lebih terang. Begitulah, catatan ini tidak bermaksud menutup
kemungkinan perihal kedatangan Cheng Ho di daratan Semarang pada
awal abad ke-15, tetapi keyakinan yang terlampau besar hanya akan
menafikan data-fata yang berkeliaran di luarnya. (24)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons