About

check

Sabtu, 27 September 2008

Muslim Tionghoa di Indonesia

Awal kedatangan Muslim Tionghoa di Nusantara tidak diketahui secara tepat
waktunya seperti juga awal kedatangan etnis Tionghoa ke nusantara ini, kecuali
dari riwayat dan bukti sejarah berupa peninggalan benda-benda arkeologis dan
antropologis yang berhubungan dengan kebudayaan Cina yang ditemukan.

Hal ini membuktikan bahwa hubungan dagang antara negeri Cina dengan Nusantara sudah
terjadi sebelum masehi.
Sebagai agama, Islam masuk dan berkembang di negeri Cina, melalui jalur
perdagangan. Begitu pula Islam masuk ke Nusantara. Kebanyakan sarjana
berpendapat bahwa peristiwa masuknya agama Islam ke Cina, terjadi pada
pertengahan abad VII. Saat itu kekhalifahan Islam yang berada di bawah
kepemimpinan Utsman bin Affan (557-656M) telah mengirim utusannya yang pertama
ke Cina, pada tahun 651 M. Ketika menghadap kaisar Yong Hui dari Dinasti Tang,
utusan Khalifah tersebut memperkenalkan keadaan negerinya beserta Islam. Sejak
itu mulai tersebarlah Islam di Cina.




Islam masuk ke Cina melalui daratan dan lautan. Perjalanan darat dari tanah
Arab sampai kebagian barat laut Cina dengan melalui Persia dan Afghanistan.
Jalan ini terkenal dengan nama “jalur sutra”. Sedangkan perjalanan laut melalui
Teluk Persia dan Laut Arab sampai ke pelabuhan-pelabuhan Cina seperti
Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, dan Yangshou dengan melalui Teluk Benggala,
Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.

Muslim Tionghoa di Nusantara ada yang berasal dari imigram Muslim asal Cina
lalu menetap di Nusantara. Ada pula yang memeluk Islam karena interaksi antar
etnis Tionghoa yang sudah ada di Nusantara dengan mereka yang beragama Islam.
Kedatangan imigran Musim Tionghoa ke Nusantara, sebelum dan pada zaman
kerajaan-kerajaan di Nusantara, secara individu-individu. Kedatangan etnis
Tionghoa ke Nusantara dari negeri Cina sebagian besar dengan cara kolektif
(rombongan) beserta keluarga. Kebanyakan dari mereka adalah non Muslim. Mereka
juga hidup terpisah dari penduduk setempat dan tinggal di Pecinan, terutama di
masa kolonial.

Kedatangan etnis Tionghoa dan Muslim Tionghoa dari negeri Cina ke Nusantara,
tujuannya adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi mereka, bukan
tujuan menyampaikan Islam atau berdakwah. Pada umumnya mereka berasal dari
daerah-daerah Zhangzhou, Quanzhou dan provinsi Guangdong. Tapi di zaman
pemerintah Belanda pernah mendatangkan etnis Tionghoa ke Indonesia untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan dan pertambangan milik Belanda.



Meski kedatangan etnis Tionghoa Muslim tidak untuk berdakwah, namun
keberadaan mereka punya dampak dalam perkembangan dakwah. Salah satunya karena
proses asimilasi, perkawinan dengan penduduk setempat yang kemudian menjadi
Muslim.

Demikian pula dengan muhibah pelayaran Laksamana Zheng He (Cheng Ho) ke
Nusantara, pada abad ke XV. Latar belakang muhibah ini adalah perdagangan dan
bermaksud mempererat hubungan antara negara Cina dan Negara-negara Asia Afrika.
Banyak dari anggota muhibah dan anak buah Laksamana Zheng He adalah Muslim,
seperti Ma Huan, Guo Chong Li dan Ha San Sh’ban dan Pu He-ri. Ma Huan dan Guo
Chong-li pandai berbahasa Arab dan Persia. Keduanya bekerja sebagai penerjemah.
Ha San adalah seorang ulama Masjid Yang Shi di kota Ki An. Maka tidaklah aneh
pada daerah-daerah yang disinggahi oleh muhibah tersebut penduduknya banyak
yang beragama Islam.

Pulau, daerah atau kerajaan-kerajaan di Indonesia yang dikunjungi oleh 7
(tujuh) kali muhibah Laksamana Zheng He dari tahun 1425 sampai tahun 1431 M
adalah Jawa, Palembang, Pasai (Aceh), Lamuri, Nakur (Batak), Lide, Aru Tamiang,
Pulau Bras, Pilau Lingga, Kalimantan, Pulau Karimata, Pulau Beliton dll.




Dari Catatan MA Huan, anggota muhibah pelayaran Laksaman Zheng He, bahwa pada
pertengahan abad XV, di kerajaan Majapahit terdapat perantau Cina Muslim yang
berasal dari Zhanghou, Quanzhou dan Provinsi Guangdong.

Dari beberapa sumber seperti dalam Seminar “Masuk dan Berkembangnya Islam Di
Indonesia” yang diselenggarakan di Banda Aceh pada September 1980 dan buku-buku
antara lain “Islam Di Jawa” , “Islamisasi Di Jawa”, Walisanga Menyebar Islam
menurut Babad “Legenda dan Sejarah Lengkap Walisongo”, beberapa wali di antara
Walisanga ada beberapa yang mengalir darah Tionghoa.

Dari riwayat tersebut, Muslim Tionghoa di Nusantara Sudah terbaur dengan
penduduk setempat. Tetapi ketika Kolonial Belanda menginjakkan kakinya di
Nusantara dan sesuai dengan politik pecah belah(devide et impera) mereka
membagi penduduk menjadi tiga golongan. Etnis Tionghoa termasuk golongan Timur
Asing dan pribumi Inlander yang mayoritas beragama Islam diberi fasilitas
tertentu dan sistem politiknya pun dibedakan dengan golongan pribumi. Hal ini
membuat etnis Tionghoa menjadi terpisah dengan penduduk setempat.





Kelompok-kelompok masyarakat etnis Tionghoa di pimpin oleh Kapten, Mayor
Tionghoa, yang pada umumnya dari kalangan non-Muslim. Dari data yang ada,
Kapiten Cina Muslim terakhir, pada pertengahan abad XVII, bernama Caitson,
berganti nama menjadi Abdul Gafur, diangkat menjadi Syahbandar Banten.

Berdasarkan peraturan kolonial Belanda, mereka yang mengikuti tradisi, adat
istiadat suatu golongan menjadi golongan tesebut. Islam mengantar etnis
Tionghoa melebur dan menjadi bagian pribumi. Hal ini berbeda dengan etnis
Tionghoa non-Muslim yang kian terpisah dengan pribumi, seperti air dan minyak.



Pada masa gerakan kemerdekaan, Muslim Tionghoa ikut pula berperan. Salah satu
perannya adalah menjadi peserta dalam peristiwa Sumpah Pemuda.




Pada perkembangannya, jarak yang muncul dengan etnis Tionghoa mengundang
beberapa Muslim Tionghoa untuk memperbaiki kerenggangan tersebut. Salah satunya
adalah Haji Yap Siong yang berasal dari kota Moyen, Cina. Setelah belajar Islam
ia menjadi Muslim pada tahun 1931 dan mendirikan organisasi dakwah yang diberi
nama Persatuan Islam Tionghoa (PIT) di kota Deli Serdang, Sumatera Utara.
Dakwah beliau dimulai dari Sumatera Utara ke Sumatera Selatan dan menyeberang
ke Jawa Barat sampai Jawa Timur. Berdakwah dalam bahasa Mandarin dan memperoleh
izin dakwah pada waktu itu dari pejabat-pejabat Kolonial Belanda.

Pada tahun 1950 bersama Haji Abdul Karim Oei Tjing Hien, kelahiran Bengkulu
yang pada tahun 1930 telah menjadi Konsul Muhamadiyah untuk daerah Sumatera
Selatan. Keduanya bertemu di Jakarta dan mengembangkan PIT. Pada tahun 1953,
Kho Guan Tjin mendirikan organisasi dakwah pula dengan nama Persatuan MUslim
Tionghoa (PMT), di Jakarta. Pada tahun 1954, kedua Organisasi dakwah itu
difusikan. Namun perjalanannya, organisasi ini bubar karena berbeda pandangan
menjelang pemilihan umum pertama tahun 1955.

Pada tanggal 14 April 1961, di Jakarta, atas prakarsa H. Isa Idris, dari
pusat Rohani TNI AD, lahirlah PITI. Sebuah nama dengan kepanjangan Persatuan
Islam Tionghoa Indonesia. Tujuan PITI adalah mempersatukan antara Muslim
Tionghoa dan Muslim Imdonesia, Muslim Tionghoa dengan Etnis Tionghoa dan etnis
Tionghoa dengaan Indonesia Asli.





Pada awal tahun 1972, Kejaksaan Agung RI dengan alasan bahwa agama Islam adalah
agama universal, menganggap PITI tidak selayaknya ada. Tidak ada Islam Tionghoa
atau Islam-Islam lainnya. Maka pada tanggal 15 Desember 1972, Dewan Pimpinan
Pusat PITI memutuskan untuk melakukan perubahan organisasi menjadi Pembina Iman
Tauhid Islam.
Demikian Kiprah Muslim Tionghoa sejak kedatangannya di Nusantara sampai saat
ini di segala bidang kehidupan sesuai dengan profesinya.


Muslim Tionghoa di Indonesia II

Sewaktu lahir pada 14 April 1961 di Jakarta, PITI adalah singkatan dari
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, tetapi kemudian diubah menjadi Persatuan
Iman Tauhid Indonesia. Karena keluar instruksi dari pemerintah (14 Desember
1972) yang menekankan agar organisasi ini tidak berciri etnis tertentu,
walaupun PITI tetap merupakan wadah berhimpunnya orang-orang Tionghoa Muslim.

Kemudian PITI kembali menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia yang
ditetapkan dalam rapat pimpinan organisasi pada pertengahan Mei 2000. Dengan
demikian, dapat dikatakan PITI saat ini kembali ke Khittah (garis perjuangan)
semula, yakni organisasi yang tegas menyebut diri sebagai wadah berhimpunnya
orang-orang Tionghoa Muslim. Tujuannya adalah mengembangkan dakwah di kalangan
orang-orang Tionghoa, baik yang sudah menjadi muslim maupun yang belum. Yang
sudah muslim ditingkatkan pengetahuan dan pengamalan Islamnya, sedang yang
belum muslim diberi penjelasan tentang Islam.





Namun dalam muktamar tahun 2000 di Jakarta, terjadi perdebatan di antara
peserta mengenai kepanjangan PITI, apakah kembali kepada Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia ataukah Persatuan Iman Tauhid Indonesia. Sebagian peserta
menghendaki kembali kepada Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, karena itulah
nama organisasi ini sewaktu didirikan dan ingin kembali berkiprah untuk
komunitas Tionghoa muslim khususnya. Sebagian lainnya ingin mempertahankan
Persatuan Iman Tauhid Indonesia, karena organisasi ini harus terbuka bagi semua
orang Islam, walaupun mengutamakan keturunan Tionghoa Muslim.

Untuk menyelesaikan perdebatan itu, maka disepakati untuk menggunakan kedua
kepanjangan itu bagi PITI, sehingga kepanjangannya menjadi Persatuan Iman
Tauhid Indonesia d/h Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Keputusan itu diambil,
karena para peserta sepakat bahwa PITI mengutamakan Tionghoa, tetapi terbuka
bagi pribumi muslim.



Sejak semula PITI yang didirikan oleh H. Abdul Karim Oey Tjeng Hien, H.
Abdusomad Yap A. Siong, Kho Goan Tjin, dan kawan-kawan, dimaksudkan sebagai
organisasi dakwah untuk membantu orang-orang Tionghoa yang ingin masuk Islam,
mempelajari Islam, dan mengamalkan Islam melalui kegiatan sosial.

Menurut penelitian-penelitian yang pernah dilakukan belum ada data yang pasti
mengenai jumlah penduduk Tionghoa Muslim di Indonesia, tetapi pimpinan PITI
memperkirakan jumlah penduduk Tionghoa ada 10 juta orang, sedang seorang ahli
Cina dari Universitas Indonesia, A. Dahana mencatat 7.200.000 orang, dan
seorang peneliti masalah Cina dari Universitas Nasional Singapura menduga ada
5.700.000 orang Tionghoa.

Dari jumlah itu orang Tionghoa Muslim menurut pimpinan PITI mencapai 5 (lima)
persen, seorang pemerhati tentang Tionghoa muslim HM. Ali Karim memperkirakan
Tionghoa Muslim hanya 2 (dua) persen, dan seorang tokoh Tionghoa Muslim yang
sangat terkenal yaitu Drs. H. Junus Jahya menduga penduduk Tionghoa Muslim
hanya sekitar 1 (satu) persen dari total penduduk Tionghoa di Indonesia. Angka
manapun yang diikuti, baik yang mengatakan 5 (lima) persen, apalagi yang
menduga hanya 1 (satu) persen, penduduk Tonghoa Muslim memang masih sangat
sedikit, sehingga dakwah di kalangan mereka terasa sangat perlu dan mendesak.
Tetapi dakwah di kalangan mereka tidak dimaksudkan untuk mengajak masuk Islam,
tetapi terutama adalah meluruskan pemahaman mereka yang keliru tentang Islam.
Misalnya karena banyak penduduk pribumi muslim yang miskin dan kurang terdidik,
maka timbul persepsi yang salah dikalangan orang-orang Tionghoa seolah-olah
kalau masuk Islam akan membuat mereka miskin dan bodoh.
Kesalahpahaman ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan orang-orang
Tionghoa enggan masuk Islam selama ini.




Karena itu, perlu dijelaskan bahwa Islam tidak menghendaki penganutnya miskin
dan bodoh. Islam malah mengharuskan pemeluknya untuk mencari harta yang
sebanyak-banyaknya asal caranya halal dan mewajibkan penganutnya untuk menuntut
ilmu pengetahuan setinggi-tingginya di bidang apa saja yang bermanfaat bagi
masyarakat dan menuntut ilmu pengetahuan boleh dimana saja. Ada sebuah hadist
yang sangat populer: “tuntutlah ilmu walau di negeri Cina.”

Pengertian itulah yang perlu disampaikan kepada orang-orang Tionghoa. Setelah
mereka mengerti hal itu lalu mereka masuk Islam atau tidak itu sepenuhnya
terserah mereka. Sebab masuk suatu agama, termasuk Islam, tidak boleh dipaksa,
tetapi harus didasarkan atas keimanan dan kesadaran pribadi agar dapat menerima
dan mengamalkam Islam dengan ikhlas.

Faktor lain yang menyebabkan PITI bertambah penting peranannya saat ini
adalah terjadinya perubahan politik, yakni runtuhnya Orde Baru dan munculnya
era reformasi. Perubahan politik ini mendorong terjadinya perubahan sikap
orang-orang Tionghoa ke arah yang terbuka kepada orang-orang pribumi, yang
kemudian mereka terdorong masuk Islam, karena mayoritas golongan pribumi itu
muslim.

Pada masa Orde Baru banyak orang Tionghoa bersikap eksklusif, karena bisnis
mereka maju dengan pesat berkat fasilitas dari pemerintah, sehingga mereka
merasa untuk berbisnis tidak terlalu mendesak bekerjasama dengan golongan
pribumi. Kalau kerjasama dengan pribumi biasanya mereka lakukan dengan
oknum-oknum pemerintah dan orang-orang yang dekat penguasa.




Dengan demikian, hidup mereka cenderung eksklusif, sehingga kurang mendapat
dorongan masuk Islam, kecuali mereka hatinya mendapat hidayah dari Allah atau
menikah dengan pribumi muslim. Namun dengan runtuhnya Orde Baru dan diganti
oleh era reformasi yang diharapkan memberi kesempatan yang sama kepada golongan
pribumi dan nonpribumi dalam berusaha, maka orang-orang Tionghoa tidak bisa
lagi berlindung pada kekuasaan. Akibatnya orang-orang Tionghoa harus lebih
banyak berinteraksi dan bekerjasama dengan golongan pribumi. Interaksi dan
kerjasama yang semakin luas bisa menjadi salah satu dorongan kuat bagi
orang-orang Tionghoa untuk masuk Islam.

Karena itu, bisa diduga bahwa pada era reformasi ini akan banyak orang-orang
Tionghoa masuk Islam. Untuk mengantisipasi perkembangan ini, maka PITI harus
tegas menyebut diri sebagai organisasi Tionghoa agar mudah dikenali oleh
orang-orang Tionghoa yang hendak masuk Islam.

Suku Tionghoa-Indonesia

Sukubangsa Tionghoa di Indonesia adalah satu etnis penting dalam percaturan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk.

Setelah negara Indonesia terbentuk, maka otomatis orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia .
Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
Orang Tionghoa di Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebagai Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Sedangkan dalam dialek Mandarin disebut Tangren (Hanzi: 唐人 , bahasa Indonesia: Orang Tang). Ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sedangkan Tiongkok Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人 , hanyu pinyin: hanren, bahasa Indonesia: Orang Han).
Bangsa Tionghoa telah ribuan tahun mengunjungi kepulauan Nusantara. Salah satu catatan-catatan tertua ditulis oleh para agamawan Fa Hsien pada abad ke-4 dan terutama I Ching pada abad ke-7. I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Kemudian dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke-8, para imigran Tionghoapun mulai berdatangan. Pada prasasti -prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam prasasti-prasasti ini orang-orang Tionghoa disebut sebagai Cina dan seringkali jika disebut dihubungkan dengan sebuah jabatan bernama Juru Cina atau kepala orang-orang Tionghoa.
Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata Cung Hwa dari Tiongkok. Istilah Tionghoa dan Tiongkok lahir dari lafal Melayu ( Indonesia ) dan Hokian, jadi secara linguistik Tionghoa dan Tiongkok memang tidak dikenal (diucapkan dan terdengar) diluar masyarakat Indonesia . Tionghoa adalah khas Indonesia , oleh sebab itu di Malaysia dan Thailand tidak dikenal istilah ini.
Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasty dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan "Orang Cina", diduga panggilan ini berasal dari kosa kata "Ching" yaitu nama dari Dinasty Ching yang berkuasa. Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Cina di Hindia Belanda pada 1900 mendirikan sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Cina di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa di Hindia Belanda.
Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun perkiraan kasar yang dipercaya sampai sekarang ini adalah bahwa jumlah suku Tionghoa berada di antara 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia .
Orang-orang Tionghoa di Indonesia berasal dari tenggara Tiongkok. Mereka termasuk suku-suku:
• Hakka
• Hainan
• Hokkien
• Kantonis
• Hokchia
• Tiochiu
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.
Dalam perjalanan sejarah, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan seperti pembantaian di Batavia1740, pembantaian Tionghoa masa perang Jawa 1825-1930, pembunuhan massal etnis Tionghoa di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963, 5Agustus 1973, Malari1974 dan Kerusuhan Mei 1998.
Pemerintah kolonial Belanda makin kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik China, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa ini yang paling siap dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi.Beberapa orang kapiten Tionghoa yang diangkat Belanda sebagai pemimpin komunitas ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat. So Beng Kong dan Phoa Beng Gan membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta, Kapten Tionghoa Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.

wikipedia/edllsda99 / Indonesia Media

Kamis, 25 September 2008

Sejarah Keturunan Tionghoa di Asia Tenggara 2

Palembang
Pada tahun 1275 Kertanagara Raja Singasari terachir di Jawa Timur mengirim
ekspedisi militer ke Dharmasraya (Sriwijaya, Sumatera Selatan dengan ibu
kota Palembang). Catatan thn 1286 menunjukkan serangan tsb berhasil dan
Sriwijaya direbut.

Kami kutib dari buku "The 6th overseas Chinese state", Nanyang Huaren,
CSEAS, J.C.Univ. of N-Queensland, Australia 1990, penyunting Sie Hok Tjwan
tentang: 1) Palembang 2) Demak, Banten, Cirebon 3) Kalimantan Barat (babak
7 halaman 65 - 99) sbb:

Namun thn. 1292 Kertanagara sendiri terbunuh oleh
pemberontakan Kediri dan Singasari jatuh. Tanah bekas Sriwijaya terlantar,
keadaan kacau.

O.W. Wolters menulis dalam buku "The fall of Srivijaya in Malay history"
hal. 73, bahwa di Palembang tidak ada penguasa kepada siapa dapat
ditujukan peringatan kaisar Tiongkok T'ai-tsu. Tindakan kaum pedagang
Tionghoa mencerminkan bagaimana besarnya kekacauan pada waktu itu. Mereka
telah memilih pimpinan sendiri. Jalan yang ditempuh Palembang dengan
pemerintah Tionghoa perantauannya (with its overseas Chinese government)
untuk memulihkan keadaan adalah sesuai dengan pandangan bahwa orang
Tionghoa telah menyaksikan suatu keadaan yang tak dapat dibiarkan dan
mereka bertekad tidak boleh berlarut-larut.

Victor Purcell dalam buku "The Chinese in Malaya" hal.14 menyatakan
setelah kerajaan Sriwijaya ambruk, Palembang telah dikuasai orang-orang
Tionghoa selama 200 (duaratus) tahun. Ketika kejayaan Sriwijaya surut
sekian ribu orang Tionghoa dari Fukien dan Canton yang telah menetap
disana telah memerintah diri sendiri.

Lukisan tersebut diatas selaras dengan catatan Dinasty Ming Tiongkok,
bahwa orang Jawa tak mampu menguasai seluruh negara sesudah San-bo-tsai
(Sriwijaya) ditaklukkan. Karena itu, demikian Ming Dynasty records tsb,
orang Tionghoa setempat telah berdiri sendiri. Seorang dari Nan-Hai
(Namhoi) Canton bernama Liang Tau-ming telah terpilih sebagai pemimpin.
Beliau menguasai sebagian negara dan puteranya ikut dengan utusan kaisar
kembali ke Tiongkok. Pada tahun 1405 kaisar mengutus seorang kurir dari
desa asalnya Liang Tau-ming dengan perintah agar Liang Tau-ming menghadap
ke istana. Liang Tau-ming bersama kawan seperjuangannya Cheng Po-k'o
berangkat membawak produk2 setempat sebagai upeti. Mereka pulang dengan
membawak hadiah yang berlimpah2. Tahun 1407 atau shortly after that
Laksamana Islam Cheng Ho mendirikan masyarakat Islam Tionghoa di
Palembang. Tahun 1415 Palembang oleh kaisar Tiongkok diakui sebagai berada
dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit).

Disini kami menjumpai buku Prof. Dr. Slamet Muljana "Runtuhnja keradjaan
Hindu Djawa dan timbulnja negara2 Islam di Nusantara". Prof. Muljana bukan
etnik Tionghoa seperti didesas-desuskan, melainkan seorang Priayi bekas
anggauta Tentara Peladjar. Buku ini thn 1971 dilarang oleh Kejaksaan Agung
dan meskipun sumber keterangan Ir. Parlindungan yang tersebut didalamnya
tak dapat ditrasir Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th.G.Th. Pigeaud dengan
panjang lebar telah memperbincangkan serta mengkomentari data Parlindungen
sebagai "The Malay Annals of Semarang and Cerbon" didalam buku "Chinese
Muslims in Java in the 15th and 16th centuries". Buku Prof. Muljana
mengandung cukup banyak data lain yang sangat menarik perhatian.

Kerajaan Majapahit juga berdiri kurang lebih 200 (duaratus) tahun. Menurut
Prof. Muljana dari 1294 hingga 1478 dan sedari itu menjadi sub-state
dibawah para penguasa Kerajaan Islam Demak hingga Majapahit tiada lagi,
yaitu thn.1527. Prof. Hoesein Djajadiningrat telah menentukan kehancuran
Majapahit sekitar thn. 1518. Malay Annals yang masih diperselisihkan itu
menyebutkan perkembangan sbb.: thn. 1443 Swan Leong (Arya Damar) putera
alm. Raja Majapahit dengan seorang wanita Tionghoa, oleh Haji Gan Eng Chou
(Arya Teja) telah ditunjuk sebagai kapten Muslimin Tionghoa di Palembang
sekalian menjadi penguasa atas nama saudara perempuan-tirinya, yaitu Ratu
Suhita dari Majapahit. Gan Eng Chou adalah kapten Tionghoa di Tuban, Jawa
Timur. Beliau oleh Ratu telah dianugerahi gelar Arya sebagai bukti
penghargaan terhadap jasa2nya. Prof. Muljana berkesimpulan hal tsb
menunjukkan suatu sikap yang sangat baik dari pihak keluarga Raja terhadap
orang Tionghoa. Mengenai pemerintahan Tionghoa Perantauan di Palembang,
Amen Budiman juga menunjuk pada dokumen2 sejarah Dinasti Ryukyu dan pada
reset yang dilakukan oleh Tan Yeok Seong, seorang sinologist yang
berpangkal di South Sea Society Singapura. Hingga belum lama ini Palembang terkenal sebagai tempat yang tidak anti-Tionghoa.

Kertanagara, raja Singasari yang terachir, pada thn.1289 telah menantang
wibawa kaisar Monggol Kublai Khan, yang masa itu berkuasa di Tiongkok.

Beliau memulangkan utusan kaisar dengan muka yang dilukai. Kublai Khan
mengirim tentaranya ke Jawa. Tetapi sebelum kedatangan tentara tsb
Kertanagara pada thn 1292 telah tewas disebabkan pemberontakan Kediri.
Singasari jatuh. Ketika tentara Kublai Khan tiba, Raden Wijaya, kemenakan
dan menantunya Kertanagara, menyerahkan diri pada pimpinan tentara Monggol
dan menyatakan, bahwa Raja Kediri Jayakatwang telah menggantikan
Kertanagara. Raden Wijaya berhasil membujuk tentara Kublai Khan untuk
menjatuhkan Daha (Kediri). Setelah tentara Kediri hancur, Raden Wijaya
berbalik menyerang tentara Kublai Khan. Beliau minta diberi 200 pengawal
Monggol/Tionghoa yang tak bersenjata untuk kepergiannya ke kota Majapahit
dimana beliau akan menyerah dengan resmi pada wakil2 Kublai Khan. Ditengah
perjalanan para pengawal dibantai dan sebagian lain tentara Monggol yang
tidak menduganya dapat dikepung. Siasat Raden Wijaya menghasilkan pihak
Monggol kehilangan 3000 orang dan terpaksa meninggalkan pulau Jawa tanpa
hadiah2 yang dijanjikan. Tahun 1293-94 Raden Wijaya mendirikan kerajaan
Majapahit di Jawa Timur.

Kublai Khan, cucunya Jengiz Khan, meninggal 18 Pebruari 1294. Antara thn.
1325 dan 1375 hubungan Majapahit dengan Tiongkok telah membaik. Sang
Adityawarman yang dibesarkan di Majapahit dan yang kemudian menjadi Raja
Sumatera-Barat telah mengunjungi istana kaisar Tiongkok sebagai menteri
dan utusan Majapahit pada thn. 1325 dan sekali lagi pada thn 1332.
Sifat pemancaran kejayaan Tiongkok jaman lampau berbeda bumi sama langit
dengan sifat kolonialis Eropa. Cuplikan-cuplikan berikut adalah hasil
penyelidikan beberapa pakar sejarah yang menggambarkan perbedaan tsb.
O.W. Wolters dalam bukunya "The fall of Srivijaya in Malay history" hal.
50, 52:

Pada tg. 30 oktober 1371 kaisar T'ai-tsu mengeluarkan pengumuman dengan
petunjuk untuk para pejabatnya: ..... menguasai tanah yang terlalu besar
tidak mendatangkan ketenteraman. Bila rakyat diharuskan bekerja terlalu
berat, keadaan itu menjadi sumber kekacauan ..... pernyataan2 T'ai-tsu
kepada penguasa2 asing mengandung banyak saran kebijaksanaan. Daripada
menganjurkan mereka untuk berdagang dengan Tiongkok, beliau menginginkan
mereka berkuasa dengan baik, memelihara hubungan mesra dengan negara
tetangganya dan saling mengindahkan tapal-batas masing2.....Jika T'ai-tsu
curiga ada penguasa asing berakal bulus serta mengirim utusan dengan
maksud yang tidak jujur, beliau lebih baik menolak upeti mereka. Misalnya,
upeti perampas2 kuasa (usurpers) tidak dapat diterima olehnya (were
unacceptable to him).

Dr. John Crawfurd (bukan Crawford) mengenai pembayaran2 upeti kepada
kaisar Tiongkok:
Hubungan Tiongkok-Siam jaman lampau mengandung unsur yang di satu pihak
berdasarkan "vanity" (pengumpakan diri) dan di lain pihak berdasar pada
"rapacity" (nafsu menggarong, lebih jelek daripada serakah/greedy). Raja
Siam mengaku dirinya sebagai pembayar upeti terhadap kaisar Tiongkok bukan
karena terpaksa dan bukan karena berada dibawah kekuasaan kaisar,
melainkan demi menghindarkan pembayaran bea bagi kapal2 yang membawak
utusan2nya ke Tiongkok. Para utusan tsb mempersembahkan bunga dari mas
sebagai tanda upeti, tetapi menerima dari kaisar hadiah2 yang jauh lebih
berharga sebagai tanda penghargaan. Negara2 lain yang lemah mengakui
kaisar Tiongkok karena sebagai imbalannya mendapat perlindungan terhadap
gangguan2 dari luar.

Dalam arsip Tiongkok tercatat bahwa pada thn. 1376 ketika dinasti Yuan
(Monggol) sudah digantikan oleh dinasti Ming (1368-1644) raja
Tan-ma-sa-na-ho wafat. Tidak jelas apa nama aslinya, tetapi kawasan yang
dipersoalkan menyangkut tanah bekas Sriwijaya. Raja yang wafat digantikan
oleh puteranya yang disebut sebagai Ma-la-cha Wu Li. Menurut Groeneveldt
mungkin putera tsb. adalah Maharadja Wuli, tetapi menurut Slamet Muljana
beliau ini Maharadja Mauliwarmadewa. Tahun berikutnya maharaja mengirim
upeti kepada kaisar Tiongkok berupa barang2 dan binatang2 chas dalam
negeri. Utusan2nya menyampaikan pesanan bahwa putera tsb segan naik tahta
atas wewenang sendiri serta mohon mendapat ijin kaisar (dengan maksud
mendapat perlindungannya). Kaisar memuji perasaan tanggungjawab maharaja
dan memberi perintah untuk menyampaikan segel (cap, seal) kepadanya
disertai pengangkatan beliau sebagai raja San-bo-tsai (Sriwijaya). Namun
pada waktu itu Sriwijaya sudah dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Raja
Majapahit sangat murka mendengar kaisar telah menunjuk raja untuk
San-bo-tsai dan mengirim anak buahnya untuk mencegat dan membunuh utusan
kaisar. Kaisar dapat mengerti kemurkaan raja Majapahit dan tidak
mengadakan pembalasan. Setelah kejadian ini lambat-laun
San-bo-tsai/Sriwijaya jatuh miskin dan tidak datang lagi upeti dari
kawasan itu. Catatan tsb sesuai dengan kenyataan bahwa bekas Sriwijaya
terlantar dan kacau. Keguncangan Singasari-Kediri dan belum
terkonsolidasinya Majapahit menyebabkan pihak Jawa tidak mampu mengurus
tanah Sriwijaya yang tadinya ditaklukkan oleh Kertanagara.

Tentang perang saudara Paregreg di Majapahit tercatat bahwa dalam thn.
1405 sida-sida (eunuch) Laksamana Cheng Ho telah diutus ke Majapahit yang
dewasa itu dikuasai oleh dua raja, Raja Timur dan Raja Barat. Tahun
berikutnya kedua raja saling berperang. Raja Timur dikalahkan dan
kerajaannya hancur. Pada itu waktu utusan2 kaisar kebetulan berada di
negara Raja Timur. Ketika prajurit2 Raja Barat masuk ke tempat pasar, 170
orang dari utusan kaisar terbunuh, hal mana membuat Raja Barat kuatir
serta mengirim utusan minta maaf. Kaisar mengeluarkan pengumuman sangat
mencela Raja Barat dan menuntut pembayaran enam-puluh ribu tail mas
sebagai denda. Tahun 1408 Cheng Ho sekali lagi diutus ke negara ini dan
Raja Barat memberi sepuluh ribu tail mas. Petugas2 Dewan Tatacara di
Tiongkok melihat jumlah tidak cukup dan bermaksud mempenjara utusan2 yang
membawanya, tetapi kaisar mengatakan: "Yang saya kehendaki dari orang2
yang hidup dijauhan yalah mereka menginsyafi kesalahannya. Saya tidak
ingin memperkaya diri dengan masnya." Seluruh denda dikembalikan. Sedari
itu mereka terus-menerus membawa upeti. Terkadang sekali dalam dua tahun,
ada kalanya lebih dari satu kali setahunnya. Para utusan Wu Pin dan Cheng
Ho seringkali mengunjungi Majapahit.
Lit.:
- Morris Rossabi "Khubilai Khan, his life and times" hal. xi, 220, 227,
228.
- Slamet Muljana "A story of Majapahit" hal. 10, 34, 35, 43, 49, 50, 71-3,
82, 88, 146, 182, 240.
- W.P. Groeneveldt "Notes on the Malay Archipelago and Malacca" hal. 36,
37, 69, 123.
- V.Purcell "The Chinese in Southeast Asia" hal. xxvii, 122.

Demak
Pada dasawarsa2 terachir abad ke 15 di Jawa Tengah telah didirikan
kerajaan Islam Demak yang berlangsung dari 1475/1478 hingga 1546/1568.
Pendirinya adalah puteranya Cek Ko-Po dan berasal Palembang dimana ketika
itu terdapat masyarakat Islam Tionghoa yang besar. Beliau terkenal dengan
nama Raden Patah (AL Fatah), alias Jin Bun / Panembahan Jimbun / Arya
(Cu-Cu) Sumangsang / Prabu Anom. Orang2 Portugis menyebutnya Pate Rodin
Sr. Menurut orang Portugis Tome Pires, beliau seorang "persona de grande
syso", a man of great power of judgement, seorang satria (cavaleiro, a
knight, a nobleman). Terkaan bahwa Jimbun nama suatu tempat dekat Demak
tidak masuk akal. Penjelasan prof. Muljana nama Jin Bun berarti "orang
kuat" dalam dialek Tionghoa-Yunnan. Semasa dynasti Yuan (Monggol) di
propinsi Yunnan terdapat banyak penganut agama Islam.

Kalangan berkuasa Demak sebagian besar terdiri dari orang2 keturunan
Tionghoa. Sebelum jaman kolonial pernikahan antara orang Tionghoa dengan
orang Pribumi merupakan hal yang normal. Dr. Pigeaud dan Dr. de Graaf
telah menggambarkan keadaan pada abad ke 16 sbb.: di kota2 pelabuhan pulau
Jawa kalangan berkuasa terdiri dari keluarga2 campuran, kebanyakan
Tionghoa peranakan Jawa dan Indo-Jawa. Sumber2 sejarah pihak Pribumi
Indonesia menyebut, dalam abad ke 16 sejumlah besar orang Tionghoa hidup
di kota2 pantai Utara Jawa. Disamping Demak, juga di Cirebon, Lasem,
Tuban, Gresik (Tse Tsun) dan Surabaya. Banyak orang Tionghoa Islam
mempunyai nama Jawa dan dengan sendirinya juga nama Arab. Pada jaman itu
sebagai Muslimin mempunyai nama Arab meninggihkan gengsi.

Salah satu cucunya Raden Patah tercatat mempunyai cita2 untuk menyamai
Sultan Turki. Menurut De Graaf dan Pigeaud, Sunan Prawata (Muk Ming) raja
Demak terachir yang mengatakan pada Manuel Pinto, beliau berjuang
sekeras2nya untuk meng-Islamkan seluruh Jawa. Bila berhasil beliau akan
menjadi "segundo Turco" (seorang Sultan Turki ke II) setanding sultan
Turki Suleiman I dengan kemegahannya. Nampaknya selain naik haji beliau
telah mengunjungi Turki.

Sumber2 Pribumi menegaskan raja-raja Kerajaan Demak orang Tionghoa atau
Tionghoa peranakan Jawa. Terlalu banyak untuk memuat semua nama2 tokoh
sejarah yang di-identifikasi sebagai orang Tionghoa. Diantaranya Raden
Kusen (Kin San, adik tiri Raden Patah), Sunan Bonang (Bong Ang, putera
Sunan Ngampel alias Bong Swee Ho), Sunan Derajat juga putera Sunan
Ngampel, Sunan Kalijaga (Gan Si Chang), Ja Tik Su (tidak jelas beliau
Sunan Undung atau Sunan Kudus. Ada sumber mengatakan Sunan Undung ayah
Sunan Kudus dan menantunya Sunan Ngampel), Endroseno, panglima terachir
tentara Sunan Giri, Pangeran Hadiri alias Sunan Mantingan suami Ratu
Kalinyamat, Ki Rakim, Nyai Gede Pinatih (ibu angkatnya Sunan Giri dan
keturunannya Shih Chin Ching tuan besar (overlord) orang Tionghoa di
Palembang), Puteri Ong Tien Nio yang menurut tradisi adalah isterinya
Sunan Gunung Jati, Cekong Mas (dari keluarga Han, makamnya terletak
didalam suatu langgar di Prajekan dekat Situbondo Jawa Timur dan dipandang
suci), Adipati Astrawijaya, bupati yang diangkat oleh VOC Belanda tetapi
memihak pemberontak ketika orang2 Tionghoa di Semarang berontak melawan
Belanda pada thn. 1741 dan Raden Tumenggung Secodiningrat Yokyakarta (Baba
Jim Sing alias Tan Jin Sing). Menurut prof. Muljana, Sunan Giri dari pihak
ayahnya adalah cucu dari Bong Tak Keng, seorang Muslim asal Yunnan
Tiongkok yang terkenal sebagai Raja Champa, suatu daerah yang kini menjadi
bagian Vietnam. Bong Tak Keng koordinator Tionghoa Perantauan di Asia
Tenggara. Ayah ibunya Sunan Giri adalah Raja Blambangan, Jawa Timur. Giri
nama bukit di Gresik.

Pengaruh arsitektur Tionghoa terlihat pada bentuk mesjid2 di Jawa terutama
di daerah2 pesisir bagian Utara. Agama Islam yang pertama masuk di
Sumatera Selatan dan di Jawa mazhab (sekte) Hanafi. Datangnya melalui
Yunnan Tiongkok pada waktu dynasti Yuan dan permulaan dynasti Ming. Prof.
Muljana berpendapat bila agama Islam di pantai Utara Jawa masuknya dari
Malaka atau Sumatera Timur, mazhabnya Syafi’i dan/atau Syi’ite dan ini
bukan demikian halnya. Beliau menekankan mazhab Hanafi hingga abad ke 13
hanya dikenal di Central Asia, India Utara dan Turki. Meskipun agama Islam
pada abad ke 8 sudah tercatat di Tiongkok, Mazhab Hanafi baru masuk
Tiongkok jaman dynasti Yuan abad ke 13, setelah Central Asia dikuasai
Jengiz Khan.

Kepergian banyak Muslim Tionghoa (exodus) dari Tiongkok terjadi pada
thn.1385 ketika diusir dari kota Canton. Jauh sebelum itu, Champa sudah
diduduki Nasaruddin jendral Muslim dari Kublai Khan. Jendral Nasaruddin
diduga telah mendatangkan agama Islam ke Cochin China. Sejumlah pusat
Muslim Tionghoa didirikan di Champa, Palembang dan Jawa Timur.

Ketika pada thn.1413 Ma Huan mengunjungi Pulau Jawa dengan Laksamana Cheng
Ho, beliau mencatat agama Islam terutama agamanya orang Tionghoa dan orang
Ta-shi (menurut prof. Muljana orang2 Arab). Belum ada Muslimin Pribumi.

Pada thn.1513-1514 Tome Pires mengambarkan kota Gresik sebagai kota makmur
dikuasai oleh orang2 Muslim asal luar Jawa. Pada thn. 1451 Ngampel Denta
didirikan oleh Bong Swee Ho alias Sunan Ngampel untuk menyebarkan agama
Islam mazhab Hanafi diantara orang2 Pribumi. Sebelum itu beliau mempunyai
pusat Muslim Tionghoa di Bangil. Pusat ini ditutup setelah bantuan dari
Tiongkok berhenti karena tahun 1430 hingga 1567 berlaku maklumat kaisar
melarang orang2 Tionghoa untuk meninggalkan Tiongkok.

Sangat menarik perhatian karena saya alami sendiri, setidak2nya hingga
jaman pendudukan Jepang, rakyat kota Malang Jawa Timur masih mempergunakan
sebutan "Kyai" untuk seorang lelaki Tionghoa Totok. Kyai berarti guru
agama Islam. Padahal yang dijuluki itu bukan orang Islam. Kebiasaan tsb
peninggalan jaman dulu. Gelar Sunan berasal dari perkataan dialek Tionghoa
Hokkian "Suhu, Saihu". 8 Orang Wali Songo mazhab Hanafi bergelar Sunan.

Satu dari Wali Songo mazhab Syi’ite bergelar Syeh dari bahasa Arab Sheik.
Kesimpulan wajar, para aktivis Islam mazhab Hanafi di Asia Tenggara semasa
itu semuanya orang Tionghoa. Sedikit banyak dapat dipersamakan dengan
penyebaran agama Kristen dari Eropa ke lain-lain benua. Hingga abad ke 19
kaum penyebar diatas tingkat lokal dapat dikatakan semuanya orang Eropa.
Tanah Tiongkok hampir seluas Eropa. Membuat perbandingan dengan Tiongkok
tidak dapat dilakukan dengan salah satu negara Eropa tetapi harus dengan
seluruh Eropa. Seperti juga suku2 Eropa dengan bahasa2nya berbeda satu
sama lain, demikian pula terdapat perbedaan antara suku2 dengan bahasa2nya
di Tiongkok. Keunggulan Tiongkok memiliki tulisan ideogram yang dapat
dimengerti meskipun bahasanya berlainan.
Lit.:
- De Graaf and Pigeaud "De eerste Moslimse Vorstendommen op Java",
"Islamic states in Java 1500-1700".
- Amen Budiman "Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia".
- Slametmuljana (dalam buku bahasa Inggris ini, nama penulisnya disambung
menjadi satu) "A story of Majapahit".
- Slamet Muljana "Runtuhnya keradjaan Hindu Djawa dan timbulnja negara2
Islam di Nusantara".
- Jan Edel "Hikajat Hasanoeddin".
(Sie Hok Tjwan)

Sejarah Keturunan Tionghoa di Asia Tenggara 1

Peranan penting dari pihak orang Tionghoa, bila diketahui umum, akan meninggihkan pandangan terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia.

Image yang baik dapat mencegah kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.
Sejarah keturunan Tionghoa di Asia Tenggara yang tak dikenal chalayak ramai.
Kutipan dari buku “The 6th overseas Chinese state“, Nanyang Huaren, CSEAS, J.C.Univ. of N-Queensland, Australia 1990, penyunting Sie Hok Tjwan tentang: 1) Palembang 2) Demak, Banten, Cirebon 3) Kalimantan Barat (babak 7 halaman 65 - 99).
Palembang (Ku-kang)
Pada tahun 1275 Kertanagara Raja Singasari terachir di Jawa Timur mengirim ekspedisi militer ke Dharmasraya (Sriwijaya, Sumatera Selatan dengan ibu kota Palembang). Catatan thn 1286 menunjukkan serangan tsb berhasil dan Sriwijaya direbut. Namun thn. 1292 Kertanagara sendiri terbunuh oleh pemberontakan Kediri dan Singasari jatuh. Tanah bekas Sriwijaya terlantar, keadaan kacau.
O.W. Wolters menulis dalam buku “The fall of Srivijaya in Malay history” hal. 73, bahwa di Palembang tidak ada penguasa kepada siapa dapat ditujukan peringatan kaisar Tiongkok T’ai-tsu. Tindakan kaum pedagang Tionghoa mencerminkan bagaimana besarnya kekacauan pada waktu itu. Mereka telah memilih pimpinan sendiri. Jalan yang ditempuh Palembang dengan pemerintah Tionghoa perantauannya (with its overseas Chinese government) untuk memulihkan keadaan adalah sesuai dengan pandangan bahwa orang Tionghoa telah menyaksikan suatu keadaan yang tak dapat dibiarkan dan mereka bertekad tidak boleh berlarut-larut.
Victor Purcell dalam buku “The Chinese in Malaya” hal.14 menyatakan setelah kerajaan Sriwijaya ambruk, Palembang telah dikuasai orang-orang Tionghoa selama 200 (duaratus) tahun. Ketika kejayaan Sriwijaya surut sekian ribu orang Tionghoa dari Fukien dan Canton yang telah menetap disana telah memerintah diri sendiri.
Lukisan tersebut diatas selaras dengan catatan Dinasty Ming Tiongkok, bahwa orang Jawa tak mampu menguasai seluruh negara sesudah San-bo-tsai (Sriwijaya) ditaklukkan. Karena itu, demikian Ming Dynasty records tsb, orang Tionghoa setempat telah berdiri sendiri. Seorang dari Nan-Hai (Namhoi) Canton bernama Liang Tau-ming telah terpilih sebagai pemimpin. Beliau menguasai sebagian negara dan puteranya ikut dengan utusan kaisar kembali ke Tiongkok. Pada tahun 1405 kaisar mengutus seorang kurir dari desa asalnya Liang Tau-ming dengan perintah agar Liang Tau-ming menghadap ke istana. Liang Tau-ming bersama kawan seperjuangannya Cheng Po-k’o berangkat membawak produk2 setempat sebagai upeti. Mereka pulang dengan membawak hadiah yang berlimpah2. Tahun 1407 atau shortly after that Laksamana Islam Cheng Ho mendirikan masyarakat Islam Tionghoa di Palembang. Tahun 1415 Palembang oleh kaisar Tiongkok diakui sebagai berada dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Pendapat Purcell, bahwa Palembang dikuasai orang2 Tionghoa selama 200 tahun mungkin karena pihak Jawa secara de facto belum dapat mengatasi keadaan dengan betul, mungkin juga karena seperti tersebut dibawah ini penguasa yang dikirim dari Jawa adalah orang Tionghoa.
Disini kami menjumpai buku Prof. Dr. Slamet Muljana “Runtuhnja keradjaan Hindu Djawa dan timbulnja negara2 Islam di Nusantara”. Prof. Muljana bukan etnik Tionghoa seperti didesas-desuskan, melainkan seorang Priayi bekas anggauta Tentara Peladjar. Buku ini thn 1971 dilarang oleh Kejaksaan Agung. Meskipun sumber keterangan dari tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan “Tuanku Rao” yang tersebut didalamnya tak dapat ditrasir, Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th.G.Th. Pigeaud dengan panjang lebar telah memperbincangkan serta mengkomentari data Parlindungen sebagai “The Malay Annals of Semarang and Cerbon” didalam buku “Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th centuries”. Buku Prof. Muljana sendiri mengandung cukup banyak data lain yang sangat menarik perhatian.
Kerajaan Majapahit juga berdiri kurang lebih 200 (duaratus) tahun. Menurut Prof. Muljana dari 1294 hingga 1478 dan sedari itu menjadi sub-state dibawah para penguasa Kerajaan Islam Demak hingga Majapahit tiada lagi, yaitu thn.1527. Prof. Hoesein Djajadiningrat telah menentukan kehancuran Majapahit sekitar thn. 1518. Malay Annals yang masih diperselisihkan itu menyebutkan perkembangan sbb.: thn. 1443 Swan Leong (Arya Damar) putera alm. Raja Majapahit dengan seorang wanita Tionghoa, oleh Haji Gan Eng Chou (Arya Teja) telah ditunjuk sebagai kapten Muslimin Tionghoa di Palembang sekalian menjadi penguasa atas nama saudara perempuan-tirinya, yaitu Ratu Suhita dari Majapahit. Gan Eng Chou adalah kapten Tionghoa di Tuban, Jawa Timur. Beliau oleh Ratu telah dianugerahi gelar Arya sebagai bukti penghargaan terhadap jasa2nya. Prof. Muljana berkesimpulan hal tsb menunjukkan suatu sikap yang sangat baik dari pihak keluarga Raja terhadap orang Tionghoa. Mengenai pemerintahan Tionghoa Perantauan di Palembang, Amen Budiman juga menunjuk pada dokumen2 sejarah Dinasti Ryukyu dan pada reset yang dilakukan oleh Tan Yeok Seong, seorang sinologist yang berpangkal di South Sea Society Singapura. Hingga belum lama ini Palembang terkenal sebagai tempat yang tidak anti-Tionghoa.
Kertanagara, raja Singasari yang terachir, pada thn.1289 telah menantang wibawa kaisar Monggol Kublai Khan, yang masa itu berkuasa di Tiongkok. Beliau memulangkan utusan kaisar dengan muka yang dilukai. Kublai Khan mengirim tentaranya ke Jawa. Tetapi sebelum kedatangan tentara tsb Kertanagara pada thn 1292 telah tewas disebabkan pemberontakan Kediri. Singasari jatuh. Ketika tentara Kublai Khan tiba, Raden Wijaya, kemenakan dan menantunya Kertanagara, menyerahkan diri pada pimpinan tentara Monggol dan menyatakan, bahwa Raja Kediri Jayakatwang telah menggantikan Kertanagara. Raden Wijaya berhasil membujuk tentara Kublai Khan untuk menjatuhkan Daha (Kediri). Setelah tentara Kediri hancur, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Kublai Khan. Beliau minta diberi 200 pengawal Monggol/Tionghoa yang tak bersenjata untuk kepergiannya ke kota Majapahit dimana beliau akan menyerah dengan resmi pada wakil2 Kublai Khan. Ditengah perjalanan para pengawal dibantai dan sebagian lain tentara Monggol yang tidak menduganya dapat dikepung. Siasat Raden Wijaya menghasilkan pihak Monggol kehilangan 3000 orang dan terpaksa meninggalkan pulau Jawa tanpa hadiah2 yang dijanjikan. Tahun 1293-94 Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit di Jawa Timur.
Kublai Khan, cucunya Jengiz Khan, meninggal 18 Pebruari 1294. Antara thn. 1325 dan 1375 hubungan Majapahit dengan Tiongkok telah membaik. Sang Adityawarman yang dibesarkan di Majapahit dan yang kemudian menjadi Raja Sumatera-Barat telah mengunjungi istana kaisar Tiongkok sebagai menteri dan utusan Majapahit pada thn. 1325 dan sekali lagi pada thn 1332.
Sifat pemancaran kejayaan Tiongkok jaman lampau berbeda bumi sama langit dengan sifat kolonialis Eropa. Cuplikan-cuplikan berikut adalah hasil penyelidikan beberapa pakar sejarah yang menggambarkan perbedaan tsb.
O.W. Wolters dalam bukunya “The fall of Srivijaya in Malay history” hal. 50, 52:
Pada tg. 30 oktober 1371 kaisar T’ai-tsu mengeluarkan pengumuman dengan petunjuk untuk para pejabatnya: ….. menguasai tanah yang terlalu besar tidak mendatangkan ketenteraman. Bila rakyat diharuskan bekerja terlalu berat, keadaan itu menjadi sumber kekacauan ….. pernyataan2 T’ai-tsu kepada penguasa2 asing mengandung banyak saran kebijaksanaan. Daripada menganjurkan mereka untuk berdagang dengan Tiongkok, beliau menginginkan mereka berkuasa dengan baik, memelihara hubungan mesra dengan negara tetangganya dan saling mengindahkan tapal-batas masing2…..Jika T’ai-tsu curiga ada penguasa asing berakal bulus serta mengirim utusan dengan maksud yang tidak jujur, beliau lebih baik menolak upeti mereka. Misalnya, upeti perampas2 kuasa (usurpers) tidak dapat diterima olehnya (were unacceptable to him).
Dr. John Crawfurd (bukan Crawford) mengenai pembayaran2 upeti kepada kaisar Tiongkok:
Hubungan Tiongkok-Siam jaman lampau mengandung unsur yang di satu pihak berdasarkan “vanity” (pengumpakan diri) dan di lain pihak berdasar pada “rapacity” (nafsu menggarong, lebih jelek daripada serakah/greedy). Raja Siam mengaku dirinya sebagai pembayar upeti terhadap kaisar Tiongkok bukan karena terpaksa dan bukan karena berada dibawah kekuasaan kaisar, melainkan demi menghindarkan pembayaran bea bagi kapal2 yang membawak utusan2nya ke Tiongkok. Para utusan tsb mempersembahkan bunga dari mas sebagai tanda upeti, tetapi menerima dari kaisar hadiah2 yang jauh lebih berharga sebagai tanda penghargaan. Negara2 lain yang lemah mengakui kaisar Tiongkok karena sebagai imbalannya mendapat perlindungan terhadap gangguan2 dari luar.
Dalam arsip Tiongkok tercatat bahwa pada thn. 1376 ketika dinasti Yuan (Monggol) sudah digantikan oleh dinasti Ming (1368-1644) raja Tan-ma-sa-na-ho wafat. Tidak jelas apa nama aslinya, tetapi kawasan yang dipersoalkan menyangkut tanah bekas Sriwijaya. Raja yang wafat digantikan oleh puteranya yang disebut sebagai Ma-la-cha Wu Li. Menurut Groeneveldt mungkin putera tsb. adalah Maharadja Wuli, tetapi menurut Slamet Muljana beliau ini Maharadja Mauliwarmadewa. Tahun berikutnya maharaja mengirim upeti kepada kaisar Tiongkok berupa barang2 dan binatang2 chas dalam negeri. Utusan2nya menyampaikan pesanan bahwa putera tsb segan naik tahta atas wewenang sendiri serta mohon mendapat ijin kaisar (dengan maksud mendapat perlindungannya). Kaisar memuji perasaan tanggungjawab maharaja dan memberi perintah untuk menyampaikan segel (cap, seal) kepadanya disertai pengangkatan beliau sebagai raja San-bo-tsai (Sriwijaya). Namun pada waktu itu Sriwijaya sudah dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Raja Majapahit sangat murka mendengar kaisar telah menunjuk raja untuk San-bo-tsai dan mengirim anak buahnya untuk mencegat dan membunuh utusan kaisar. Kaisar dapat mengerti kemurkaan raja Majapahit dan tidak mengadakan pembalasan. Setelah kejadian ini lambat-laun San-bo-tsai/Sriwijaya jatuh miskin dan tidak datang lagi upeti dari kawasan itu. Catatan tsb sesuai dengan kenyataan bahwa bekas Sriwijaya terlantar dan kacau. Keguncangan Singasari-Kediri dan belum terkonsolidasinya Majapahit menyebabkan pihak Jawa tidak mampu mengurus tanah Sriwijaya yang tadinya ditaklukkan oleh Kertanagara.
Tentang perang saudara Paregreg di Majapahit tercatat bahwa dalam thn. 1405 sida-sida (eunuch) Laksamana Cheng Ho telah diutus ke Majapahit yang dewasa itu dikuasai oleh dua raja, Raja Timur dan Raja Barat. Tahun berikutnya kedua raja saling berperang. Raja Timur dikalahkan dan kerajaannya hancur. Pada itu waktu utusan2 kaisar kebetulan berada di negara Raja Timur. Ketika prajurit2 Raja Barat masuk ke tempat pasar, 170 orang dari utusan kaisar terbunuh, hal mana membuat Raja Barat kuatir serta mengirim utusan minta maaf. Kaisar mengeluarkan pengumuman sangat mencela Raja Barat dan menuntut pembayaran enam-puluh ribu tail mas sebagai denda. Tahun 1408 Cheng Ho sekali lagi diutus ke negara ini dan Raja Barat memberi sepuluh ribu tail mas. Petugas2 Dewan Tatacara di Tiongkok melihat jumlah tidak cukup dan bermaksud mempenjara utusan2 yang membawanya, tetapi kaisar mengatakan: “Yang saya kehendaki dari orang2 yang hidup dijauhan yalah mereka menginsyafi kesalahannya. Saya tidak ingin memperkaya diri dengan masnya.” Seluruh denda dikembalikan. Sedari itu mereka terus-menerus membawa upeti. Terkadang sekali dalam dua tahun, ada kalanya lebih dari satu kali setahunnya. Para utusan Wu Pin dan Cheng Ho seringkali mengunjungi Majapahit.
Lit.:
- Morris Rossabi “Khubilai Khan, his life and times” hal. xi, 220, 227, 228.
- Slamet Muljana “A story of Majapahit” hal. 10, 34, 35, 43, 49, 50, 71-3, 82, 88, 146, 182, 240.
- W.P. Groeneveldt “Notes on the Malay Archipelago and Malacca” hal. 36, 37, 69, 123.
- V.Purcell “The Chinese in Southeast Asia” hal. xxvii, 122.
Demak, Banten,Cirebon
Pada dasawarsa2 terachir abad ke 15 di Jawa Tengah telah didirikan kerajaan Islam Demak yang berlangsung dari 1475/1478 hingga 1546/1568. Pendirinya adalah puteranya Cek Ko-Po dan berasal Palembang dimana ketika itu terdapat masyarakat Islam Tionghoa yang besar. Beliau terkenal dengan nama Raden Patah (AL Fatah), alias Jin Bun / Panembahan Jimbun / Arya (Cu-Cu) Sumangsang / Prabu Anom. Orang2 Portugis menyebutnya Pate Rodin Sr. Menurut orang Portugis Tome Pires, beliau seorang “persona de grande syso”, a man of great power of judgement, seorang satria (cavaleiro, a knight, a nobleman). Terkaan bahwa Jimbun nama suatu tempat dekat Demak tidak masuk akal. Penjelasan prof. Muljana nama Jin Bun berarti “orang kuat” dalam dialek Tionghoa-Yunnan. Semasa dynasti Yuan (Monggol) di propinsi Yunnan terdapat banyak penganut agama Islam.
Kalangan berkuasa Demak sebagian besar terdiri dari orang2 keturunan Tionghoa. Sebelum jaman kolonial pernikahan antara orang Tionghoa dengan orang Pribumi merupakan hal yang normal. Dr. Pigeaud dan Dr. de Graaf telah menggambarkan keadaan pada abad ke 16 sbb.: di kota2 pelabuhan pulau Jawa kalangan berkuasa terdiri dari keluarga2 campuran, kebanyakan Tionghoa peranakan Jawa dan Indo-Jawa. Sumber2 sejarah pihak Pribumi Indonesia menyebut, dalam abad ke 16 sejumlah besar orang Tionghoa hidup di kota2 pantai Utara Jawa. Disamping Demak, juga di Cirebon, Lasem, Tuban, Gresik (Tse Tsun) dan Surabaya. Banyak orang Tionghoa Islam mempunyai nama Jawa dan dengan sendirinya juga nama Arab. Pada jaman itu sebagai Muslimin mempunyai nama Arab meninggihkan gengsi.
Salah satu cucunya Raden Patah tercatat mempunyai cita2 untuk menyamai Sultan Turki. Menurut De Graaf dan Pigeaud, Sunan Prawata (Muk Ming) raja Demak terachir yang mengatakan pada Manuel Pinto, beliau berjuang sekeras2nya untuk meng-Islamkan seluruh Jawa. Bila berhasil beliau akan menjadi “segundo Turco” (seorang Sultan Turki ke II) setanding sultan Turki Suleiman I dengan kemegahannya. Nampaknya beliau telah mengunjungi Turki.
Sumber2 Pribumi menegaskan raja-raja Kerajaan Demak orang Tionghoa atau Tionghoa peranakan Jawa. Terlalu banyak untuk memuat semua nama2 tokoh sejarah yang di-identifikasi sebagai orang Tionghoa. Diantaranya Raden Kusen (Kin San, adik tiri Raden Patah), Sunan Bonang (Bong Ang, putera Sunan Ngampel alias Bong Swee Ho), Sunan Derajat juga putera Sunan Ngampel, Sunan Kalijaga (Gan Si Chang), Ja Tik Su (tidak jelas beliau Sunan Undung atau Sunan Kudus. Ada sumber mengatakan Sunan Undung ayah Sunan Kudus dan menantunya Sunan Ngampel), Endroseno, panglima terachir tentara Sunan Giri, Pangeran Hadiri alias Sunan Mantingan suami Ratu Kalinyamat, Ki Rakim, Nyai Gede Pinatih (ibu angkatnya Sunan Giri dan keturunannya Shih Chin Ching tuan besar (overlord) orang Tionghoa di Palembang), Puteri Ong Tien Nio yang menurut tradisi adalah isterinya Sunan Gunung Jati, Cekong Mas (dari keluarga Han, makamnya terletak didalam suatu langgar di Prajekan dekat Situbondo Jawa Timur dan dipandang suci), Adipati Astrawijaya, bupati yang diangkat oleh VOC Belanda tetapi memihak pemberontak ketika orang2 Tionghoa di Semarang berontak melawan Belanda pada thn. 1741 dan Raden Tumenggung Secodiningrat Yokyakarta (Baba Jim Sing alias Tan Jin Sing). Menurut prof. Muljana, Sunan Giri dari pihak ayahnya adalah cucu dari Bong Tak Keng, seorang Muslim asal Yunnan Tiongkok yang terkenal sebagai Raja Champa, suatu daerah yang kini menjadi bagian Vietnam. Bong Tak Keng koordinator Tionghoa Perantauan di Asia Tenggara. Ayah ibunya Sunan Giri adalah Raja Blambangan, Jawa Timur. Giri nama bukit di Gresik.
Pengaruh arsitektur Tionghoa terlihat pada bentuk mesjid2 di Jawa terutama di daerah2 pesisir bagian Utara. Agama Islam yang pertama masuk di Sumatera Selatan dan di Jawa mazhab (sekte) Hanafi. Datangnya melalui Yunnan Tiongkok pada waktu dynasti Yuan dan permulaan dynasti Ming. Prof. Muljana berpendapat bila agama Islam di pantai Utara Jawa masuknya dari Malaka atau Sumatera Timur, mazhabnya Syafi’i dan/atau Syi’ite dan ini bukan demikian halnya. Beliau menekankan mazhab Hanafi hingga abad ke 13 hanya dikenal di Central Asia, India Utara dan Turki. Meskipun agama Islam pada abad ke 8 sudah tercatat di Tiongkok, Mazhab Hanafi baru masuk Tiongkok jaman dynasti Yuan abad ke 13, setelah Central Asia dikuasai Jengiz Khan.
Kepergian banyak Muslim Tionghoa (exodus) dari Tiongkok terjadi pada thn.1385 ketika diusir dari kota Canton. Jauh sebelum itu, Champa sudah diduduki Nasaruddin jendral Muslim dari Kublai Khan. Jendral Nasaruddin diduga telah mendatangkan agama Islam ke Cochin China. Sejumlah pusat Muslim Tionghoa didirikan di Champa, Palembang dan Jawa Timur.
Ketika pada thn.1413 Ma Huan mengunjungi Pulau Jawa dengan Laksamana Cheng Ho, beliau mencatat agama Islam terutama agamanya orang Tionghoa dan orang Ta-shi (menurut prof. Muljana orang2 Arab). Belum ada Muslimin Pribumi. Pada thn.1513-1514 Tome Pires mengambarkan kota Gresik sebagai kota makmur dikuasai oleh orang2 Muslim asal luar Jawa. Pada thn. 1451 Ngampel Denta didirikan oleh Bong Swee Ho alias Sunan Ngampel untuk menyebarkan agama Islam mazhab Hanafi diantara orang2 Pribumi. Sebelum itu beliau mempunyai pusat Muslim Tionghoa di Bangil. Pusat ini ditutup setelah bantuan dari Tiongkok berhenti karena tahun 1430 hingga 1567 berlaku maklumat kaisar melarang orang2 Tionghoa untuk meninggalkan Tiongkok.
Sangat menarik perhatian karena saya alami sendiri, setidak2nya hingga jaman pendudukan Jepang, rakyat kota Malang Jawa Timur masih mempergunakan sebutan “Kyai” untuk seorang lelaki Tionghoa Totok. Kyai berarti guru agama Islam. Padahal yang dijuluki itu bukan orang Islam. Kebiasaan tsb peninggalan jaman dulu. Gelar Sunan berasal dari perkataan dialek Tionghoa Hokkian “Suhu, Saihu”. 8 Orang Wali Songo mazhab Hanafi bergelar Sunan. Satu dari Wali Songo mazhab Syi’ite bergelar Syeh dari bahasa Arab Sheik.
Kesimpulan wajar, para aktivis Islam mazhab Hanafi di Asia Tenggara semasa itu semuanya orang Tionghoa. Sedikit banyak dapat dipersamakan dengan penyebaran agama Kristen dari Eropa ke lain-lain benua. Hingga abad ke 19 kaum penyebar diatas tingkat lokal dapat dikatakan semuanya orang Eropa. Tanah Tiongkok hampir seluas Eropa. Membuat perbandingan dengan Tiongkok tidak dapat dilakukan dengan salah satu negara Eropa tetapi harus dengan seluruh Eropa. Seperti juga suku2 Eropa dengan bahasa2nya berbeda satu sama lain, demikian pula terdapat perbedaan antara suku2 dengan bahasa2nya di Tiongkok. Keunggulan Tiongkok memiliki tulisan ideogram yang dapat dimengerti meskipun bahasanya berlainan.
Lit.:
- De Graaf and Pigeaud “De eerste Moslimse Vorstendommen op Java”, “Islamic states in Java 1500-1700″.
- Amen Budiman “Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia”.
- Slametmuljana (dalam buku bahasa Inggris ini, nama penulisnya disambung menjadi satu) “A story of Majapahit”.
- Slamet Muljana “Runtuhnya keradjaan Hindu Djawa dan timbulnja negara2 Islam di Nusantara”.
- Jan Edel “Hikajat Hasanoeddin”.
Kerajaan Islam Demak runtuh disebabkan perang saudara antara cucu2nya Jin Bun (Raden Patah).
Raja2 Demak adalah:
• Jin Bun alias Al-Fatah (Raden Patah) 1478 - 1518
• Yat Sun alias Adipati Yunus 1518 - 1521
• Tung Ka Lo alias Trenggana 1521 - 1546
• Muk Ming alias Sunan Prawata 1546 - 1546
Muk Ming dikalahkan dan terbunuh oleh Arya Penangsang Jipang, seorang cucu lain dari Raden Patah. Penangsang Jipang sendiri kemudian dibunuh oleh iparnya Muk Ming. Kerajaan Islam Demak tiada lagi karena ipar tsb mempunyai negara sendiri di Pajang di pedalaman Jawa Tengah dan merupakan orang Islam mazhab Shi’ite, bukan mazhab Hanafi.
Angkatan Laut Demak dua kali dengan sia2 menyerang kekuatan Portugis di Malaka dan satu kali di Maluku.
Namun pada tahun 1526-1527 Sunan Gunung Jati alias Fatahillah / Toh A Bo / Pangeran Timur, panglima kerajaan Demak, merebut Sunda Kalapa dan berhasil mengusir orang Portugis yang datang dengan maksud membangun benteng. Nama Sunda Kalapa oleh beliau diganti menjadi Jayakarta. Prof. Djajadiningrat menterjemahkan arti Jayakarta sebagai “kemenangan yang tercapai” (volbrachte zege, achieved victory). Dr. de Graaf menyebut adanya laporan sejarawan Portugis bernama de Couto yang mengatakan pada tahun 1564 the martial king of Aceh Ala’ad-Din Shah telah minta pada “Raja Demak, Kaisar Jawa” (o Rey de Dama, Imperador do Jaoa) untuk membantu ekspedisinya menghadapi orang Portugis di Malaka. Nampaknya 18 tahun setelah runtuhnya kerajaan Demak, di tempat tsb masih terdapat kekuasaan yang oleh the mighty king of Aceh dipandang cukup berkuasa untuk diajak bersekutuan. Pada tahun 1574, jauh setelah kerajaan Demak tiada lagi, Ratu Kalinyamat dari Japara, cucu perempuan Raden Patah, masih merasa cukup kuat untuk mengirim kapal2 perang menyerang orang Portugis di Malaka.
Setelah merebut Sunda Kalapa, Sunan Gunung Jati menjadi Sultan Banten dan membentuk masyarakat Islam disana. Kesultanan Banten kemudian beliau serahkan kepada Hasanuddin, puteranya, dan yang belakangan ini oleh tradisi Jawa dipandang sebagai raja Banten yang pertama. Pada tahun 1552 Sunan Gunung Jati datang ke masyarakat Muslim Tionghoa di Cirebon. Beliau kecewa dengan adanya saling bunuh-membunuh antara cucu2nya Raden Patah. Sunan Gung Jati mengabulkan permintaan Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi untuk mendirikan kesultanan di Cirebon seperti Demak dulu. Sebagai orang yang sudah berumur lanjut beliau menjadi sultan Cirebon yang pertama, menikah dengan puterinya Haji Tan Eng Hoat dan putera mereka menjadi Sultan Cirebon yang ke II.
Orang membayangkan bagaimana jalannya sejarah dunia bila kaisar Tiongkok T’ai-tsu tidak kehilangan perhatian terhadap dunia luar. Antara 1430 dan 1567 orang Tionghoa dilarang meninggalkan tanah leluhurnya. Angkatan Laut Tiongkok yang canggih dengan teknologi yang jauh lebih tinggi tingkatnya daripada kapal2 Eropa, diterlantarkan. Tahun 1431 yaitu 61 tahun sebelumnya Columbus, kapal-utama Laksamana Cheng Ho berukuran 140 meter, sedangkan panjangnya kapal Columbus hanya 30 meter. Peninggalan2 yang diketemukan menunjukkan Australia dan Amerika Latin telah dikunjungi oleh pelaut2 Tionghoa. Adanya angin2 Timur serta arus2 Pacific dewasa itu jelas sudah diketahui orang Tionghoa. Kapal2 Tiongkok mempergunakan watertight bulkheads sedari abad ke 2 Masehi (2nd century AD). Prinsip tsb baru dikenal di Eropa sekitar tahun 1800, seribu enam ratus tahun kemudian. Seumpamakata armada Cheng Ho tidak dipereteli dan terjadi konfrontasi dengan kapal2 perang Eropa, Tiongkok tidak akan tertidur, tidak akan kepergok dalam keadaan lemah. Dengan perang-candu (1839 - 1842) Inggris memaksa Tiongkok untuk mengijinkan impor candu yang telah menghancurkan tenaga rakyat secara besar2an. Selama satu abad setelah perang-candu, Tiongkok hampir ambruk diserang Inggris, Jerman, Perancis, Jepang dll negara yang sedang jaya.
Dr. Kwee Swan Liat mengutip sejarawan Inggris Joseph Needham sbb.: Ilmu pengetahuan modern berdiri atas dasar teknologi abad pertengahan yang sebagian besar bukan asal Eropa. Selama abad ke 1 hingga abad ke 14 Masehi, Tiongkok telah membanjiri Eropa dengan penemuan2, tanpa Eropa mengetahui dari mana asalnya. Teknik2 numerational dan computational, pengetahuan dasar magnetical phenomena, efficient equine harness, teknologi besi dan baja, penemuan bahan peledak dan kertas, lonceng mekanik, driving belt, chain-drive, cara standard converting rotary to rectilinear motion, segmental arch bridges, nautical techniques seperti stern-post rudder, imunisasi, inokulasi dsb. Semua ini mengakibatkan kegemparan di dunia Barat. William Harvey sebelum tahun 1616 telah menemukan adanya aliran darah dalam tubuh manusia. Hal itu di Tiongkok sudah dikenal lima ratus tahun duluan.
Pada tahun 1574 Lim Ah Hong, seorang yang berada diluar perlindungan hukum (an outlaw) mengepung benteng Spanyol di Pilipina serta nyaris merebut Manila. Kemampuan seorang outlaw Tionghoa untuk mengguncangkan kekuasaan Spanyol di Asia, membuat gubernur Spanyol mengingini hubungan baik dengan kaisar Tiongkok. Tahun 1661 Koxinga mengalahkan Belanda di Taiwan. Satu tahun kemudian beliau mengirim ultimatum kepada penguasa Spanyol di Pilipina untuk menyerah kepadanya atau dihancurkan. Sayang tahun itu juga, ketika orang2 Spanyol sedang panik memperkuat benteng2 pertahanannya, datang berita Koxinga meninggal dunia.
Lain dari apa yang diajarkan di sekolah2 Belanda, penemuan bahan peledak di Tiongkok tidak hanya dipergunakan untuk mercon saja. Sedari permulaan, bahan peledak dipergunakan untuk keperluan2 militer. Pada dynasti T’ang (618-907) bahan peledak “nitre” dan alkimia Tionghoa dikenal orang2 Arab dan Persia sebagai “salju Tionghoa” dan “garam Tionghoa”. Abad ke 13 bahan peledak Tionghoa mulai dikenal Eropa melalui orang Arab yang masa itu berkuasa di Spanyol. Buku2 Arab jaman itu mencatat “botol2 besi” yang dipergunakan oleh tentara Monggol dalam abad ke 13. Pihak Arab memperoleh bermacam2 senjata api lewat orang Monggol. Antara lain senapan2 sederhana dan senapan petir. Tidak lama kemudian orang Arab dapat membuatnya sendiri. Senjata dan roket Arab “Qidan” berdasarkan model2 Tionghoa. Dewasa itu Tiongkok di Eropa terkenal sebagai Qidan. Baru tahun 1326 Inggris, Perancis dan lain negara2 Eropa untuk pertama kalinya membuat alat2 perang yang berasal Tiongkok ini. Senjata-api “blunderbus” yang dipergunakan di Eropa sekitar permulaan abad ke 14 asal-usulnya di Tiongkok.
Lit.:
- Zhou Jiahua “The history of gunpowder and weapons in China”
- Catalogue D/1988/2111/06 exhibition “China Heaven and Earth. 5000 Years inventions and discoveries” Brussels Sept 88 - Jan 89. Institute K.U. Leuven.
Kalimantan-Barat
Pada dasarnya Indonesia terdiri dari bagian2 yang dahulu mempunyai kedaulatan sendiri2 seperti kerajaan, kesultanan dsb. Dalam abad ke 18 dan abad ke 19 di Kalimantan-Barat selain kerajaan/kesultanan terdapat juga sejumlah negara republik. Berapa jumlah semuanya tidak jelas. Saya sebut 3 yang paling besar. Republik Thai Kong dengan tentara 10.000 orang, Republik Lan Fong 6.000 orang dan Lara Sin-Ta-Kiou 5.000 orang. Masing2 negara republik tsb terdiri dari suku2 tertentu. Hubungannya satu sama lain sedemikian rupa hingga mudah diadu-domba oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah perang melawan Belanda dengan pertumpahan darah yang besar pada tahun 1854 hanya tinggal satu Republik Lan Fong yang achirnya berdiri 107 tahun. Meskipun thn. 1884 Belanda berhasil menghancurkannya, daerah tsb baru thn. 1912 berhasil diamankan. Sisa pusat perlawanan Lan Fong pertama-tama menyingkir ke Sarawak. Disana mereka terkenal dibawah bendera Sam Tiam Hui.
107 Tahun Republik Lan Fong lebih lama daripada negara persatuan Jerman bentukan Bismarck, yang setelah kira-kira 75 tahun pecah menjadi Jerman Timur dan Barat. Ditambah 12-13 tahun setelah dipersatukan lagi juga belum 100 tahun. Belgia terbentuk tahun 1830 hingga kini 173 tahun dan dengan demikian berumur kurang daripada self-government orang2 Tionghoa di Palembang yang menurut Victor Purcell berlangsung selama 200 tahun.
Pejabat pemerintah Belanda Dr. J.J.M. de Groot fasih bahasa Tionghoa adalah saksi-mata Republik Lan Fong. Buku de Groot “Het Kongsiwezen van Borneo” terbit thn.1885 mengandung keterangan yang berharga. Beliau berkesempatan meninjau keadaan dari kedua belah pihak. Kami kutib tentang “… (sebutan de Groot) kongsi2 atau republik2 Tionghoa yang dahulunya ada di Kalimantan Barat…” sbb.:
Tahun 1885 ini pun (setahun setelah Lanfong hancur) tentara Belanda masih menghadapi perlawanan. Orang2 Lan Fong inilah yang tadinya mengolah pertambangan mas di Kalimantan hingga daerah ini menjadi makmur seperti belum pernah terjadi disini. Ketika thaiko Lo Fong-phak mendirikan Kongsi Lan Fong di Mandor pada tahun 1777, belum ada pemerintahan yang menguasai daerah tsb. Maka semua hukum dan undang2 yang berlaku disitu beliau yang menyusunnya. De Groot sangat kagum sejumlah pendatang campur-aduk yang berasal dari kaum petani biasa di Tiongkok mampu mendirikan negara dengan organisasi yang rapih dan terpimpin dimana berlaku hukum, ketertipan dan disiplin. Mereka memiliki perundang2an serta sistem keuangan sendiri. Negara2 republik tsb perang satu sama lain dan perang dengan raja2 Melayu. Perundingan2 dengan pemerintah Belanda yang jauh lebih kuat, telah mereka lakukan dalam tingkat sederajat. Dari manakah semangat republik dan demokratis yang besar itu, sedangkan orang2 Barat selalu mengira kekuasaan di Tiongkok bersifat absolutis? De Groot telah mempelajari keadaan di Tiongkok dan berkesimpulan semua ini adalah warisan adat-istiadat dan sistem kebijaksanaan dari negara leluhur. De Groot menamakan mereka “… a free people, keen on its self established republican independency…”. Komisaris pemerintah kolonial Willer dalam tulisannya yang berjudul “Kronijk (chronicle) van Mampawa en Pontianak” menyebut Lanfong “republik konstitusional dibawah kekuasaan tritunggal (triumvirate)”.
Kehancurannya negara2 republik di Kalbar telah mendatangkan kemiskinan di daerah ini yang luasnya lebih dari empat kali negeri Belanda… De Groot mengecam pemerintah Belanda karena tidak pernah berusaha untuk betul2 mengenal orang Tionghoa. Beliau berpendapat tidak ada golongan lain yang lebih banyak mengalami fitnahan di daerah penjajahan Belanda daripada golongan Tionghoa. De Groot bertindak sebagai juru bahasa. Semua hal antara pihak Belanda dan pihak pimpinan Tionghoa melalui tangannya dan beliau mengenal pemimpin2 kongsi dengan baik. De Groot telah mengumpulkan sebanyak mungkin dokumentasi karena mengetahui Belanda akan menyerang dan orang2 Tionghoa tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Dokumen2 negara2 republik yang lain musna dalam peperangan yang sudah2.
Sama-rata
Van Rees seorang Belanda lain yang banyak mengetahui tentang negara2 republik suku Tionghoa tsb., telah memberi kesaksian tentang pergaulan sama rata di republik2 itu. Orang yang berpangkat paling tinggi duduk berdampingan dengan kuli yang paling miskin. Menurut van Rees didalam penghidupan sehari-hari orang Tionghoa tidak mempersoalkan tingkat dan pangkat. Penguasa sipil Sambas bernama Muller dan seorang pejabat Belanda bernama Veth juga menyaksikan hubungan sama-rata. De Groot selanjutnya: “orang yang terendah pun setiap waktu dapat menghubungi pimpinan termasuk kapthai sendiri. Tiada pemimpin yang merasa tersinggung bila seorang dari rakyat-biasa memasuki ruang kerjanya untuk membicarakan urusan2 kecil. Bila bertemu dipersimpangan jalan, pemimpin dan rakyat-biasa saling menyambut dengan ramah…. Pada umumnya sama dengan sifat orang2 Tionghoa yang datang ke jajahan Belanda…. Di Jawa disatu pihak pendatang baru dari Fukien dengan mudah dikuasai oleh pemuka2nya, tetapi dilain pihak menunjukkan kemerdekaan yang bertaraf tinggi tanpa sikap resmi dan hormat yang berlebihan. Pihak pemimpin cukup bijaksana tidak menuntut kehormatan yang lebih besar. Mereka mengetahui para bawahannya itu orang2 yang teresap dengan ajaran “hao” dan akan cukup mengindahkan pemimpinnya.”
Saksi2-mata tsb juga kagum tenaga kerja orang2 Tionghoa. Hutan ditebang dan tanah yang tidak begitu subur dijadikan sawah, kebun gula dan kebun buah2an. Dikatakan tiada suku lain di dunia dalam keadaan yang sama dapat mewujudkannya. Bekerja dibawah terik panas matahari daerah khattulistiwa dari subuh hingga matahari terbenam, dipersukar oleh kekuasaan Belanda, tanpa perlindungan dari pemerintah tanah leluhur, tanpa modal, hanya dengan kecerdikan dan semangat-berusaha (spirit of enterprise). Menjalin hubungan keluarga dengan pihak Pribumi melalui pernikahan, secara umum terjadi sedari permulaan. Mendirikan sekolahan2 merupakan salah satu usaha yang utama, sekalipun didesa-desa yang kecil. Diantara kaum Tionghoa sukar dijumpai orang yang buta-huruf. Mereka disukai penduduk Pribumi sebagai tenaga yang berharga. Tidak seperti pihak Belanda yang dimana-mana datang dengan kapal perang, serdadu dan senapan. Dengan suku Dayak Batang-lupar dan Punan yang ditakuti sebagai pengayau (penggorok kepala) pun orang2 Tionghoa dapat memelihara hubungan yang baik. Sedangkan tidak ada orang Eropa yang berani berhadapan dengan suku2 tsb tanpa pengawal yang kuat. Demikianlah kesaksian pejabat-pejabat Belanda jaman itu.
Permulaan tahun 1960-an operasi chusus (Opsus) tentara telah melancarkan intrik penghasutan orang Dayak di pedalaman Kalimantan-Barat terhadap orang Tionghoa. Puluhan ribu orang Tionghoa dikejar-kejar, menjadi pengungsi di kota-kota pantai dalam keadaan payah. Banyak yang tewas. Dasar pikiran yang menelorkan operasi tsb menyalahi cita2 nation-building serta merugikan nusa dan bangsa Indonesia. Adanya sejarah negara Thai Kong, Lan Fong dll., pada hakekatnya tidak beda misalnya dengan adanya negara Demak yang didirikan Jin Bun alias Raden Patah. Seperti dijelaskan diatas, negara Indonesia memangnya terdiri dari banyak bagian yang dulunya mempunyai kedaulatan sendiri. Operasi chusus tetap dilancarkan di Kalimantan-Barat karena penduduk didaerah yang bersangkutan keturunan Tionghoa, meskipun mereka warganegara Indonesia. Diskriminasi terhadap ket.Tionghoa adalah warisan politik adu-domba kolonial Belanda. Thailand yang tidak mengalami penjajahan telah menyerap orang2 Tionghoa tanpa banyak persoalan. Apalagi bagi orang2 yang pandai. Bekas Perdana Menteri Chuan Leek Pai dan banyak orang terkemuka lain serta tidak sedikit anggauta keluarga raja adalah keturunan Tionghoa yang sudah 100% menjadi orang Thai. Sebelum jaman kolonial orang2 Tionghoa di Indonesia juga dengan sendirinya terserap secara wajar. Orang2 keturunan Tionghoa seperti Raden Patah dan Endroseno hingga Cekong Mas (yang kuburannya suci dan terletak didalam suatu langgar di Prajekan dekat Situbondo Jawa Timur), semuanya telah terserap 100% oleh pihak Pribumi Indonesia dimasa sebelum penjajahan.
Tambahan: Tokoh-tokoh Tionghoa didalam sejarah mempunyai nama Pribumi dan mereka tidak menonjolkan diri sebagai orang Tionghoa. Ini mendekatkan mereka dengan pengikutnya serta melancarkan segala sesuatu. Sama dengan anggauta keluarga raja Belanda. Mereka semuanya keturunan Jerman, tetapi mereka juga tidak menonjolkan, bahwa mereka ket. Jerman.
“Sejarah ket. Tionghoa di Asia Tenggara yang tak dikenal khalayak ramai”, yang dimuat oleh Indonesia Media di California dalam 5(lima) bagian pada tahun 2003.
Sie Hok Tjwan

Nyanyian Senyap Minoritas Uighur

Minoritas muslim Uighur kehilangan kebebasannya di negeri sendiri, Xinjiang, Cina. Label teroris membuat Pemerintah Beijing punya legitimasi untuk menekan Uighur.

Banyak minoritas Uighur akhirnya harus tinggal di pengasingan.
ALUNAN MUSIK jazz mengalun ringan. Tiupan saksopon dan klarinet Pol Cousée dan Peter Lutek yang meliuk-liuk, menyihir telinga pengunjung yang memadati Distillerry District, Toronto, Kanada, pertengahan Oktober lalu. Seolah hendak menerjemahkan irama, di panggung yang sama, para pemain akrobat menampilkan kebolehannya. Seorang beratraksi menyeberangi seutas kawat di udara. Yang lain mengayun-ayunkan tongkat api, memainkan hulahoop, meloncat-loncat, melipat-lipat tubuh yang seolah berbahan karet.

Penonton dibuat ternganga oleh pertunjukan Shurum Burum Jazz Circus pimpinan David Buchbinder itu. Sebuah paduan kreatif antara jazz dan sirkus. Sebagian pengunjung barangkali tak sadar jika, seperti dilaporkan The Globe and Mail, dua perempuan pemain sirkus, Aigul Memet dan Gulnar Wayit, adalah Muslim Uighur. Keduanya tampil memukau.

Aigul dan Gulnar, keduanya berusia 28 tahun, justru bisa menunjukkan kemampuannya secara leluasa ketika tampil di negeri orang. Di negerinya sendiri, Xinjiang, Cina, penampilan mereka diawasi secara ketat, hingga membuat mereka memilih hengkang ke Kanada pada akhir Januari lalu.

Dilshat Sirajidin, 40 tahun, yang serombongan dengan Aigul saat keluar dari Xinjiang pada Januari itu, mengaku gerah dengan Pemerintah Komunis Beijing. Pertunjukan-pertunjukan Dilshat dan kawan-kawan diharuskan mendukung propaganda pemerintah.

Pernah, Aigul dan kawan-kawan mengalami penghinaan yang menyakitkan dari aparat yang dikuasai mayoritas Han. “Suatu kali,” kisah Aigul seperti dikutip Radio Free Asia, “kita dibawa ke sebuah ruang pesta pribadi di Fulu Hotel untuk apa yang disebut ‘tugas politik’. Setelah pertunjukan, kita tak diperbolehkan pulang, tapi kita dipaksa untuk makan-minum bersama pejabat-pejabat tinggi mereka.”

Yang menyedihkan, lanjut Aigul, kita dipaksa minum anggur beralkohol. “Padahal sudah kita bilang ‘tidak’,” kata Aigul. “Kita tak punya pilihan. Kita tak mampu melawan,” ujar Dilshat, yang mahir bermain sulap itu.

Di rantau, Aigul, Gulnar, Dilshat, dan rombongannya sudah bisa menghirup udara bebas. Sudah tentu tidak demikian dengan jutaan warga etnis Uighur yang tetap tinggal di Xinjiang. Termasuk keluarga Aigul sendiri. “Mereka (Pemerintah Cina) mengancam keluarga saya: jika saya tak kembali, mereka tak akan bisa melihat saya lagi,” kata Aigul.

Di Xinjiang, lebih dari 8 juta minoritas Uighur hidup dalam ketakutan. Pemerintah Cina memasang pengawasan ketat. Polisi rahasia bahkan kerap membuntuti wartawan yang keluar-masuk komunitas Uighur. Tak heran jika ini membuat orang Uighur selalu mencurigai setiap pertanyaan pengunjung asing. Hampir seluruh aktifitas mereka dikekang, mulai dari pendidikan, pelayanan kesehatan, hingga kebebasan beribadah.

Terhadap kegiatan kegamaan orang Uighur, parahnya, Pemerintah pun memberi tekanan lebih kuat ketimbang minoritas Muslim lain, misalnya etnis Hui. Aparat melarang mereka memasang loudspeaker di masjid-masjid, melarang imam lokal bertemu dengan komunitas Muslim dari luar, dan membatasi jam-jam masuk masjid.

Aparat juga menghalangi setiap bentuk ekspresi etnis Uighur tampil di publik. “Selama 50 tahun, tak seorang pun diperbolehkan menyanyikan apa yang kita orang Uighur rasakan dan hayati,” kata Sultan Kurash, seorang musisi Uighur, seperti dikutip Far Eastern Economic Review, akhir September lalu. Sultan, yang sempat belajar di Academy of Performing Arts di Urumqi, ibukota Xinjiang, sangat mahir memainkan musik-musik rakyat Uighur. Pada 1990-an, ia berkeliling dari ujung ke ujung Xinjiang, menyanyi dan memainkan dutar, sejenis kecapi berleher panjang.

Don’t Sell Your Land adalah salah satu lagunya yang sangat dikenal rakyat Uighur. Tapi, Pemerintah Beijing menilai aktivitas Sultan ini membahayakan. Mereka lalu berupaya sedemikian rupa membungkam Sultan. Dan, akhirnya, tibalah malapetaka itu: Sultan dilarang main musik, peralatannya dirampas, dan dia diawasi secara ketat.

Tapi, Sultan tak mau menyerah. Ia mencari jalan, dan beruntung: ia berhasil lari ke Swedia. Di kota kecil Eskiltuna, Swedia, ia menyanyi lagi, memainkan musik, menyuarakan kepedihan-kepedihan orang Uighur yang kian terpinggir setelah etnis mayoritas, Cina Han, memadati Xinjiang.

Etnis mayoritas ini belakangan semakin menguasai Xinjiang. Dulu, ketika Pemerintah Komunis Cina dibentuk pada 1949, Cina Han di Xinjiang hanya sebesar 6 persen. Sementara Uighur 75 persen. Sisanya adalah belasan etnis kecil lain, di antaranya etnis Kazakh yang bermata biru dan etnis Tajik yang berwajah Persia.

Namun, sensus 2002 menunjukkan bahwa Cina Han menempati 40 persen lebih dari total 21 juta penduduk Xinjiang. Semenjak Pemerintah mengkampanyekan slogan “Pergilah ke Barat”, orang Cina Han berbondong-bondong membanjiri kawasan Barat daratan Cina ini. Tak heran jika Cina Han berkembang dua langkah lebih cepat dibanding etnis-etnis minoritas asli Xinjiang. Dan, meski populasi pribumi Uighur sebenarnya sebesar 46 persen, lebih tinggi dari Han, Cina Han tetap menempati posisi dominan.

Li Defeng, seorang Han asal propinsi Henan yang pensiunan guru, menyadari hal tersebut. “Sangat sedikit orang asli di sini. Setiap orang seperti entah dari negeri jauh mana,” katanya, pada sebuah sore saat menyaksikan pertunjukan tari yang biasa di gelar di luaran, seperti dikutip Knight Ridder Newspaper.

Orang Uighur juga terpinggirkan lantaran bahasa dan makanan yang berbeda dari mayoritas Han. “Kita tak bisa berkomunikasi dengan mereka. Kita tak tahu bahasa mereka,” kata Zhang Bizhong, pekerja konstruksi dari propinsi Sichuan. “Kita, orang Sichuan, suka makan nasi dan daging babi. Orang minoritas lokal tidak suka daging babi. Mereka tak suka nasi.”

Dru Gladney, seorang pakar studi kawasan Xinjiang dari University of Hawaii, mengemukakan lebih tajam keterpinggiran etnis Uighur oleh dominasi Cina Han. “Jika Anda pergi ke wilayah selatan kota, hampir semua adalah orang Cina Han,” kata Gladney. Kota yang dimaksud Gladney adalah Urumqi.

Semakin membanjirnya orang Cina Han di Xinjiang ini, kabarnya, merupakan keinginan dari Pemerintah Komunis Beijing. Beijing hendak melunturkan populasi etnis minoritas, dengan demikian kontrol terhadap daerah lebih mudah dilakukan. Wang Lequan, seorang pejabat teras Partai Komunis, membantah analisis ini. Pekerja-pekerja migran di Xinjiang, kata Wang, hanyalah mengisi lapangan kerja yang lowong. “Banyak minoritas Xinjiang tidak suka kotor dan kerja berat,” kata anggota Politburo ini di hadapan wartawan di Urumqi.

Meski demikian, Wang menyadari bahwa orang Uighur itu berbahaya. “Mereka telah berkali-kali mengirim pasukan bersenjata di Xinjiang dan mengorganisasi tindak-tindak kekerasan,” ujar Wang. Lebih dari 1000 orang Uighur, kata Wang, dilatih di kamp-kamp al-Qaedah atau Taliban sebelum Amerika Serikat menginvasi Afganistan di akhir 2001. Kelompok ekstrem Uighur ini kini tengah berupaya menciptakan ledakan kekerasan di Xinjiang.

“Xinjiang telah menghadapi berbagai serangan berat dari kaum nasionalis-separatis-teroris sejak 1990-an,” tutur Wang. Serangan Uighur pada 1990-an, kata Wang, telah mengakibatkan setidaknya 160 jiwa tewas, dan lebih dari 400 orang luka-luka, termasuk tokoh-tokoh agama dan kader-kader partai. Pada 2001 lalu, orang Uighur juga melancarkan serangan ke Xinjiang.

Pemerintah Beijing pun semakin bersikap keras terhadap orang Uighur. Sejauh ini, kata Wang, polisi telah menghancurkan 22 sel pemberontak Uighur, dan menvonis lebih dari 50 orang, termasuk ekskusi mati.

Etnis Uighur sendiri memandang bahwa kekerasan yang dilakukan sebagian dari mereka merupakan luapan atas ketertindasan yang mereka rasakan. “Jika sekelompok orang terus didesak ke sudut, ditelanjangi hak-haknya, itu akan membuat mereka lebih radikal, memaksa mereka untuk menyerang balik,” kata Alim Seytoff. Seytoff adalah sekretaris jendral Uyghur American Association, sebuah kelompok eksil di Amerika Serikat yang menampung 1000-an orang Uighur.

Apa yang dialami etnis Uighur sebenarnya tak jauh beda dengan yang terjadi pada warga Tibet. Orang Tibet mengalami tekanan keras dari Pemerintah Beijing, mereka dihalangi hak-haknya untuk mempraktikkan keyakinan dan kebudayaannya. Akibatnya, beberapa kali, orang Tibet pun melancarkan aksi-aksi kekerasan. Tapi, orang Tibet masih lebih beruntung. “Tibet tak pernah mendapat label teroris,” kata Gladney, peneliti dari University of Hawaii itu.

Sedangkan Uighur senantiasa mendapat cap teroris, terutama dari Pemerintah Beijing. Ini membuat Beijing memiliki legitimasi yang kuat untuk melakukan tekanan, bahkan melakukan pemberantasan, terhadap Uighur. Padahal, sepanjang penelitian Gladney, seperti tertuang dalam artikelnya dalam Xinjiang, China’s Muslim Borderland – Studies of Central Asia and The Caucasus, tidak ada terorisme terorganisasi di Xinjiang.

Lebih parah lagi, etnis Uighur minim dukungan internasional. Berbeda dengan Tibet, di mana aktor Richard Gere berbicara lantang ke seluruh dunia saat Pemerintah Beijing menangkapi pendeta-pendeta Tibet, etnis Uighur tak punya siapa-siapa. “Seluruh komunitas internasional bereaksi. Tapi ketika mereka (Beijing) melakukan hal yang sama kepada kami, tak ada yang peduli,” keluh Seytoff.

Kondisi demikian ini rupanya membuat banyak etnis Uighur tersingkir dari tanah airnya sendiri. Sultan Kurash, untuk sekadar bernyanyi dan memetik dutar, harus angkat kaki dari Xinjiang. Sultan juga harus membawa anak, istri, dan ibunya ke tanah rantau, Eskiltuna. Di sini, Sultan bisa berhubungan dengan orang-orang eksil Uighur lainnya, juga dengan komunitas musik rakyat Swedia sendiri.

Sedangkan Aigul Memet dan Gulnar Wayit, untuk sekadar unjuk kebolehan bermain akrobat, harus terlempar ke Toronto. Gulnar malah tak bisa membayangkan bakal kembali ke negerinya. “Kita tak punya rumah untuk kembali. Kepala kita akan menggelinding jika kita dikirim kembali ke Cina,” kata Gulnar, sembari tangannya memperagakan adegan memotong leher.

Dan, di Distillerry District itu, masih dengan iringan musik jazz, warga Toronto dibuat berdecak menyaksikan kelenturan dan kelincahan aksi akrobatik Aigul dan Gulnar. Tak banyak yang tahu, apakah keduanya beratraksi dengan jiwa riang, ataukah dengan hati yang pahit. *
Majalah Syir'ah, Mancanegara, November 2004
Oleh Mujtaba Hamdi

KASGAR,Cagar wisata Jalur sutera

Sejak abad ke-2 SM Kasghar terkenal sebagai pusat perdagangan dunia. Itulah sebabnya, kawasan yang kaya hasil bumi dan sutera ini sempat jadi perebutan berbagai kekaisaran Asia.

Kini dengan magnet sejarah dan kondisi alam, serta penduduknya yang masih "begitu-begitu" saja, Kashgar justru menjadi cagar wisata yang menarik. Bahkan, "Tanpa pernah melihat Kashgar, Anda tidak akan tahu sebagaimana besarnya negeri Cina," kata Nenden Nurhayati yang sempat berkunjung ke sana.

Oasis seluas 141,6 km2 dengan ketinggian 1.290 m/dpl ini terletak di bagian barat lembah Tarim dan disuburkan oleh S. Yarkant dan S. Kashgar (K'a-shih-ka-erh Ho). Letaknya yang unik, membuat kawasan ini memiliki banyak tetangga, antara lain Uni Sovyet (Kirgistan, Tajikistan), Afghanistan, Pakistan, serta India. Namun, sebagai salah satu kabupaten yang masuk dalam Propinsi Xinjiang, Cina, daerah ini hanya memiliki satu-satunya yang bisa disebut kota yakni Kashi atau Kashgar. Selain ada sekitar sebelas "desa ramai" lainnya seperti Shufu, Shule, Yengisar, Yuepuhu, Jianshi, Sache, Zepu, Yecheng, markit, Bachu dan Taxkorgan Tajik.
Xinjiang dengan ibu kota Urumqi, adalah daerah otonomi Cina yang sebagian besar dihuni oleh orang Turki berbahasa Weiwuer (Uigur-muslim). Populasinya kurang lebih 950.000. Sampai sekarang Xinjiang merupakan daerah tujuan para petualang "romantis" yang ingin memuaskan rasa ingin tahu dan merasakan sensasi berada jauh di "ujung dunia", tanpa mempedulikan alamnya yang keras dan panas.
Selain terkenal dengan situs perdagangan sutera, para pelancong biasanya tertarik oleh lukisan-lukisan indah yang terpahat di dinding-dinding gua yang tersebar di daerah ini, oleh reruntuhan-reruntuhan kota-kota kuno di Gurun Gobi, serta indahnya Gunung Tianshan, serta Danau Khayangan yang mempesona. Kota-kota utama Xinjiang yang banyak dikunjungi turis, selain Urumqi yang merupakan basis perjalanan mereka menjajaki oasis lain yang tersebar di kawasan itu, tentu saja Kashgar.
Ajang perebutan penguasa
Kondisi perekonomian serta kemajuan perdagangan kawasan ini tergambar pada kesan-kesan Marcopolo ketika mampir di Kashgar. "Negeri ini subur dan makmur. Tanahnya menghasilkan segala kebutuhan hidup. Penduduknya hidup dari perdagangan dan industri. Mereka telah berhasil mengolah buah-buahan, serta mengebunkan anggur. Di sini terdapat katun yang berlimpah ruah di samping sisal dan rami. Negeri ini merupakan basis bagi para pedagang sebelum mengedarkan dagangannya ke seluruh pelosok dunia."
Di jalur ini, caravan dengan unta berseliweran mengangkut barang-barang dagangan dari Cina ke Asia Tengah yang diteruskan ke Eropa. Perdagangan ini sudah berjalan sejak zaman Romawi pada saat sutera, yang merupakan komoditi utama ekspor Cina, digandrungi wanita-wanita Romawi.
Alkisah, kaisar Romawi di Roma, pada suatu hari yang cerah menampakkan dirinya dalam suatu jamuan dengan mengenakan pakaian yang luar biasa indahnya. Ketika kaum bangsawan serta kalangan kaya mengetahui bahwa kain itu berasal dari negeri Seres (Sino-Saloume), semua orang kemudian berebut mencari tak peduli berapa pun harga serta sulit untuk memperolehnya.
Wajarlah kalau sejak itu Kashgar tak kunjung henti menjadi ajang perebutan pengaruh berbagai pihak yang mengincarnya. Di akhir abad ke-2 SM Cina berhasil menduduki kawasan itu setelah mengusir orang-orang Yueh-chih ke luar dari Propinsi Kansu. Namun genggaman penguasa Cina itu hanya sampai pada awal abad I Masehi, karena orang Yuech-chih berhasil merebutnya kembali.
Setelah melewati berbagai gelombang penaklukan bangsa-bangsa dari Utara dan Timur yang melandanya, Cina kembali menguasai kawasan ini pada akhir abad VII lewat tangan dinasti Tang (618 - 907). Namun tahun 752 Kasghar berhasil dikuasai berturut-turut oleh bangsa Turki, kaum Uighurs (abad X dan XI), orang Kara kitai (abad XII), dan tahun 1219 oleh bangsa Mongol. Pada pemerintahan bangsa Mongol ini jalur perdagangan darat antara Cina dan Asia Tengah berkembang dengan amat pesat.
Pada akhir abad XIV Kasghar dijarah oleh bangsa Timur (Tumerlane) meski kemudian bisa direbut kembali oleh penguasa Cina di bawah dinasti Qing (1644 - 1911). Namun kawasan ini tetap tak lepas dari berbagai benturan kepentingan dan perebutan berbagai pihak. Tahun 1928 sampai 1937 meletus pemberontakan muslim yang dipimpin oleh Ma Chung-ying dengan dukungan Uni Sovyet, menentang penindasan yang dilakukan penguasa Propinsi, Sheng Shih-ts'ai. Namun tahun 1943 berhasil dikuasai oleh pemerintah Cina.
Pergaulan budaya dan kontaknya dengan Uni Sovyet membuat orang Kashgar memiliki ciri khas yang unik. Secara kesukuan, kebudayaan, bahasa dan agama para penduduk Kashgar sama sekali tak punya kemiripan dengan bangsa Cina. Sebaliknya, segalanya mirip dengan penduduk muslim yang tinggal di kawasan Rusia. Wajah mereka pun lebih mirip orang Eropa Timur dan Timur Tengah dari pada orang Cina. Maklum, untuk mencapai Beijing diperlukan lima bulan dengan mengendarai unta atau keledai, sedangkan untuk tiba di jalan utama India, diperlukan lima atau enam minggu saja.
Seorang ilmuwan, Peter Fleming yang datang pada tahun 1935 di sini menulis, "Bagi sebagian besar orang, Kashgar yang jauhnya lima atau enam minggu berjalan kaki dari jalan utama di India, tampak sebagai tempat barbar yang terasing ..." Selain itu, adat yang menonjol di kota ini adalah kegemaran penduduknya mengadakan pesta. Fleming menceritakan hiruk pikuknya pesta yang diadakan oleh penguasa setempat sebelum ia pulang. "Pesta ini sengaja diadakan sebagian untuk kehormatan mereka, sebagian lagi untuk menghormati kita ... Kalian tak akan pernah tahu apa yang biasanya terjadi dalam sebuah pesta di Kashgar. Setiap penguasa tinggi yang berlaku sebagai tuan rumah berdatangan dengan membawa tukang pukulnya masing-masing. Tentara orang Cina dan Turki terlihat di mana-mana; pistol otomatis dan pedang-pedang pembunuh siap digunakan, sedangkan senjata Mauser yang dipegang para pelayan berdenting mengancam punggung kita pada saat mereka menyajikan makanan dengan ramah. Pidato-pidato yang diucapkan para tokoh serta-merta diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Rusia, Cina, serta Turki, dan tak seorang pun terbunuh ..." Demikianlah Kashgar di masa lampau.
Pasar Minggu, Jiari Jishi
Kashgar sekarang, sebagai kota terbesar di jalur Jalan Sutera baik jalur utara (melewati Yuli, Korla, Xinhe, Aksu, Arvat, Artush, Kashgar, dll.) maupun jalur selatan (melewati Shache, Pishan, Hotan, Yutian, Minfeng, Qiemo, Ruoqiang, dll.) masih menjadi objek wisata yang digemari. Pasalnya, walaupun sekarang Kashgar kehilangan daya tarik "romantisnya" disebabkan kekuasaan Cina komunis yang mengungkungnya, penduduk serta alamnya tetap merupakan magnet yang mempesona. Kota Kashgar sekarang diperkirakan berpenduduk 200.000 jiwa. Dari jumlah itu 74,62% adalah orang Uigur, dan 24,32% adalah bangsa Han. Perfectoral Kashi sendiri berpenduduk 2,3 juta orang yang terdiri atas 93% merupakan orang Uygur, sisanya adalah bangsa Han, Tajik, Hui, Kirgiz, Ozbek, Kazak, Manchu, Xibe, Mongol, Tatar, dan Daur. Industri yang melahirkan komoditi utama di daerah ini adalah pabrik pemintalan katun, pabrik pewarna tekstil, pabrik semen, tambang batubara, dan pusat energi air.
Pemandangan menarik yang selalu terjadi pada hari Sabtu adalah membludaknya turis ke kota ini. Mereka yang datang dengan pesawat dari Urumqi umumnya berharap bisa menyaksikan keramaian Pasar Minggu atau Sunday Market alias Jiari Jishi. Di pasar ini, sejak Minggu dini hari, ribuan kereta kuda terbuka, kereta keledai terbuka, serta beberapa unta, dan belum lagi pejalan kaki berbondong-bondong menuju Jiari Jishi. Tanpa mempedulikan turis yang lalu-lalang dengan kamera mereka, penduduk Kashgar dan sekitarnya melakukan transaksi jual beli. Bunyi decit kereta-kereta kuda tersebut belumlah bisa dibilang berisik kalau dibandingkan dengan berisiknya binatang-binatang yang diperdagangkan. Kuda-kuda yang meringkik, sapi-sapi yang melenguh, domba-domba mencoba menyaingi bunyi-bunyi lainnya dan tentu saja hampir semua penjual berteriak-teriak menawarkan dagangannya.
Sementara itu di antara ratusan kereta kuda dan keledai serta ribuan orang, sedikit saja yang memberi perhatian pada yang bukan urusan mereka. Kecuali anak-anak yang berteriak-teriak menyapa para turis, orang-orang dewasa lainnya dengan wajah polos mereka, hanya memandang ramah semua orang. Bahkan para pedagang tidak mencoba menaikkan harga setiap kali turis membeli sesuatu.
Pemandangan pertama yang mempesona para turis adalah banyaknya kereta kuda berpenumpang orang-orang Uigur, Tajiks, Kirghiz, Uzbeks, dll. Wanita, pria, anak-anak dan orang tua-tua berpakaian adat menuju arah gerbang pasar dan lalu kita lihat tempat parkir kereta-kereta (tanpa binatang penariknya) dengan tanda khusus. Sementara di ambang pintu pedagang buah-buahan dan sayuran duduk berderet-deret. Ada pedagang roti Arab, makanan (gulai, sate, mi, dsb.), pedagang besi, dan lalu pedagang binatang.
Binatang-binatang yang dipertontonkan kelincahannya untuk menarik pembeli paling banyak menarik perhatian turis. Kuda-kuda dan keledai yang berderap ditunggangi pemiliknya untuk memperlihatkan kekuatan hewan itu supaya mendapat tawaran bagus. Domba dan sapi serta keledai, berderet-deret memenuhi pasar yang luar biasa besarnya ini.
Barangkali kalau diperhatikan, dengan berada di sana kita seolah-olah merasa berada di abad lain adalah karena segalanya tampak primitif. Mereka masih menggunakan alat transportasi seadanya dengan tenaga binatang. Kaum lelakinya bersorban dan berjanggut, sedangkan wanitanya banyak yang berkerudung, berpakaian warna-warni dengan aksesori ramai berwarna emas, sementara itu mereka begitu bersahaja dan malu-malu. Seperti umumnya di negara muslim, berpakaian sangat tertutup. Banyak di antara mereka mengenakan cadar. Kita harus berhati-hati untuk tidak membidikkan kamera pada mereka yang bercadar karena mereka tak akan segan-segan merampas kamera kita dan membantingnya. Para turis wanita sebaiknya berpakaian sopan (tidak mengenakan short walau kepanasan) karena akan mengundang pelecehan seksual pria-pria Kashgar dan pandangan hina wanita-wanitanya.
Di antara debu yang mengepul disebabkan kereta-kereta yang berlalu-lalang, pedagang-pedagang berpakaian kumal dan dagangannya yang kelihatan kotor tak lekang diserbu pembeli.
Itulah Pasar Minggu Kashgar yang begitu banyak mengundang turis melewatkan waktu walau sehari liburan di kota ini. Hal lain menarik yang bisa dilihat di kota ini adalah bazar di setiap sore yang menjual segala macam kebutuhan hidup sehari-hari dan digelar di tepian jalan-jalan tertentu dari mulai stocking wanita sampai sepatu bot, semangka dan melon serta pisau. Meski tak sesibuk dan sebesar Pasar Minggu tapi bazar inilah yang meramaikan kota Kashgar sehari-harinya.
Mesjid kuno
Objek wisata lain yang tak kalah menariknya, biasa dikunjungi turis sambil menunggu pesawat malam, adalah Masjid Id Kah (ai ti ga er qingzhen). Masjid ini dibangun pada tahun 1442 atas perintah Shakesimirzha. Setiap bulan Ramadhan, pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, kawula muda kota ini menabuh beduk dan menari untuk merayakannya. Berbeda dengan masjid-masjid di Indonesia, masjid ini mampu memberi suasana meriah di sekitarnya karena banyaknya pedagang di depan masjid dan orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya.
Lebih jauh dari pusat kota, terdapat sebuah kompleks bersejarah, Makam Abakh Hoja yang dibangun pada tahun 1640. Konon Abakh Hoja adalah putra tertua Yusuf Hoja, tokoh penyebar agama Islam di sana. Menurut sejarahnya, yang dikubur di makam ini tujuh puluh dua orang dari lima generasi sebuah keluarga yang menyebarkan agama Islam di Kashgar dan sekitarnya. Kompleks makam ini dinamai pula Xiangfei mu karena di tempat ini disemayamkan pula seorang putri keluarga Hoja yaitu Yiparhan yang semasa hidupnya adalah salah seorang selir Kaisar Qianlong dari dinasti Qing. Karena harum tubuhnya bagaikan wangi parfum, putri ini diberi nama Xiangfei yang berarti Selir Wangi Kerajaan. Setelah meninggal, tubuhnya dikirim ke Kashgar, dibakar dan disemayamkan di sini.
Selain itu, terdapat patung Mao yang menjulang seolah-olah mengingatkan penduduk siapa tuan di daerah ini. Di seberang patung ini terdapat taman tempat warga Kota Kashgar mengaso dan pendatang berekreasi sambil bersantap dan minum limun warna-warni. Taman ini dinamakan Renmin gongyuan dongwuyuan.
Untuk berjalan-jalan di Kashgar tidaklah sulit. Kita bisa menyewa sepeda, naik "bemo", naik taksi, numpang kereta kuda atau keledai, naik ojek dengan tempat duduk di samping, cukup nyaman kalau kita tidak terlalu mempedulikan bunyinya yang bergemuruh. Tempat menginap pun tersedia banyak dengan berbagai pilihan, baik fasilitas maupun harga sewanya.
Kalau dipandang secara keseluruhan, Kashgar adalah kota yang ramah dan menyenangkan. Penduduknya ramah, sopan, terbuka, bersahaja dan jujur. Daerahnya terbilang nyaman, meski terkadang terdengar teriakan pedagang menawarkan barang jualannya di tepi jalan atau suara derap kaki binatang dan bunyi roda kereta di jalanan menggelitik telinga kita dan membuat kita merasa seolah-olah berada di dunia lain, barangkali seperti dalam film Little House in the Prairie-nya Michael London.



 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons