About

check

Kamis, 25 September 2008

Nyanyian Senyap Minoritas Uighur

Minoritas muslim Uighur kehilangan kebebasannya di negeri sendiri, Xinjiang, Cina. Label teroris membuat Pemerintah Beijing punya legitimasi untuk menekan Uighur.

Banyak minoritas Uighur akhirnya harus tinggal di pengasingan.
ALUNAN MUSIK jazz mengalun ringan. Tiupan saksopon dan klarinet Pol Cousée dan Peter Lutek yang meliuk-liuk, menyihir telinga pengunjung yang memadati Distillerry District, Toronto, Kanada, pertengahan Oktober lalu. Seolah hendak menerjemahkan irama, di panggung yang sama, para pemain akrobat menampilkan kebolehannya. Seorang beratraksi menyeberangi seutas kawat di udara. Yang lain mengayun-ayunkan tongkat api, memainkan hulahoop, meloncat-loncat, melipat-lipat tubuh yang seolah berbahan karet.

Penonton dibuat ternganga oleh pertunjukan Shurum Burum Jazz Circus pimpinan David Buchbinder itu. Sebuah paduan kreatif antara jazz dan sirkus. Sebagian pengunjung barangkali tak sadar jika, seperti dilaporkan The Globe and Mail, dua perempuan pemain sirkus, Aigul Memet dan Gulnar Wayit, adalah Muslim Uighur. Keduanya tampil memukau.

Aigul dan Gulnar, keduanya berusia 28 tahun, justru bisa menunjukkan kemampuannya secara leluasa ketika tampil di negeri orang. Di negerinya sendiri, Xinjiang, Cina, penampilan mereka diawasi secara ketat, hingga membuat mereka memilih hengkang ke Kanada pada akhir Januari lalu.

Dilshat Sirajidin, 40 tahun, yang serombongan dengan Aigul saat keluar dari Xinjiang pada Januari itu, mengaku gerah dengan Pemerintah Komunis Beijing. Pertunjukan-pertunjukan Dilshat dan kawan-kawan diharuskan mendukung propaganda pemerintah.

Pernah, Aigul dan kawan-kawan mengalami penghinaan yang menyakitkan dari aparat yang dikuasai mayoritas Han. “Suatu kali,” kisah Aigul seperti dikutip Radio Free Asia, “kita dibawa ke sebuah ruang pesta pribadi di Fulu Hotel untuk apa yang disebut ‘tugas politik’. Setelah pertunjukan, kita tak diperbolehkan pulang, tapi kita dipaksa untuk makan-minum bersama pejabat-pejabat tinggi mereka.”

Yang menyedihkan, lanjut Aigul, kita dipaksa minum anggur beralkohol. “Padahal sudah kita bilang ‘tidak’,” kata Aigul. “Kita tak punya pilihan. Kita tak mampu melawan,” ujar Dilshat, yang mahir bermain sulap itu.

Di rantau, Aigul, Gulnar, Dilshat, dan rombongannya sudah bisa menghirup udara bebas. Sudah tentu tidak demikian dengan jutaan warga etnis Uighur yang tetap tinggal di Xinjiang. Termasuk keluarga Aigul sendiri. “Mereka (Pemerintah Cina) mengancam keluarga saya: jika saya tak kembali, mereka tak akan bisa melihat saya lagi,” kata Aigul.

Di Xinjiang, lebih dari 8 juta minoritas Uighur hidup dalam ketakutan. Pemerintah Cina memasang pengawasan ketat. Polisi rahasia bahkan kerap membuntuti wartawan yang keluar-masuk komunitas Uighur. Tak heran jika ini membuat orang Uighur selalu mencurigai setiap pertanyaan pengunjung asing. Hampir seluruh aktifitas mereka dikekang, mulai dari pendidikan, pelayanan kesehatan, hingga kebebasan beribadah.

Terhadap kegiatan kegamaan orang Uighur, parahnya, Pemerintah pun memberi tekanan lebih kuat ketimbang minoritas Muslim lain, misalnya etnis Hui. Aparat melarang mereka memasang loudspeaker di masjid-masjid, melarang imam lokal bertemu dengan komunitas Muslim dari luar, dan membatasi jam-jam masuk masjid.

Aparat juga menghalangi setiap bentuk ekspresi etnis Uighur tampil di publik. “Selama 50 tahun, tak seorang pun diperbolehkan menyanyikan apa yang kita orang Uighur rasakan dan hayati,” kata Sultan Kurash, seorang musisi Uighur, seperti dikutip Far Eastern Economic Review, akhir September lalu. Sultan, yang sempat belajar di Academy of Performing Arts di Urumqi, ibukota Xinjiang, sangat mahir memainkan musik-musik rakyat Uighur. Pada 1990-an, ia berkeliling dari ujung ke ujung Xinjiang, menyanyi dan memainkan dutar, sejenis kecapi berleher panjang.

Don’t Sell Your Land adalah salah satu lagunya yang sangat dikenal rakyat Uighur. Tapi, Pemerintah Beijing menilai aktivitas Sultan ini membahayakan. Mereka lalu berupaya sedemikian rupa membungkam Sultan. Dan, akhirnya, tibalah malapetaka itu: Sultan dilarang main musik, peralatannya dirampas, dan dia diawasi secara ketat.

Tapi, Sultan tak mau menyerah. Ia mencari jalan, dan beruntung: ia berhasil lari ke Swedia. Di kota kecil Eskiltuna, Swedia, ia menyanyi lagi, memainkan musik, menyuarakan kepedihan-kepedihan orang Uighur yang kian terpinggir setelah etnis mayoritas, Cina Han, memadati Xinjiang.

Etnis mayoritas ini belakangan semakin menguasai Xinjiang. Dulu, ketika Pemerintah Komunis Cina dibentuk pada 1949, Cina Han di Xinjiang hanya sebesar 6 persen. Sementara Uighur 75 persen. Sisanya adalah belasan etnis kecil lain, di antaranya etnis Kazakh yang bermata biru dan etnis Tajik yang berwajah Persia.

Namun, sensus 2002 menunjukkan bahwa Cina Han menempati 40 persen lebih dari total 21 juta penduduk Xinjiang. Semenjak Pemerintah mengkampanyekan slogan “Pergilah ke Barat”, orang Cina Han berbondong-bondong membanjiri kawasan Barat daratan Cina ini. Tak heran jika Cina Han berkembang dua langkah lebih cepat dibanding etnis-etnis minoritas asli Xinjiang. Dan, meski populasi pribumi Uighur sebenarnya sebesar 46 persen, lebih tinggi dari Han, Cina Han tetap menempati posisi dominan.

Li Defeng, seorang Han asal propinsi Henan yang pensiunan guru, menyadari hal tersebut. “Sangat sedikit orang asli di sini. Setiap orang seperti entah dari negeri jauh mana,” katanya, pada sebuah sore saat menyaksikan pertunjukan tari yang biasa di gelar di luaran, seperti dikutip Knight Ridder Newspaper.

Orang Uighur juga terpinggirkan lantaran bahasa dan makanan yang berbeda dari mayoritas Han. “Kita tak bisa berkomunikasi dengan mereka. Kita tak tahu bahasa mereka,” kata Zhang Bizhong, pekerja konstruksi dari propinsi Sichuan. “Kita, orang Sichuan, suka makan nasi dan daging babi. Orang minoritas lokal tidak suka daging babi. Mereka tak suka nasi.”

Dru Gladney, seorang pakar studi kawasan Xinjiang dari University of Hawaii, mengemukakan lebih tajam keterpinggiran etnis Uighur oleh dominasi Cina Han. “Jika Anda pergi ke wilayah selatan kota, hampir semua adalah orang Cina Han,” kata Gladney. Kota yang dimaksud Gladney adalah Urumqi.

Semakin membanjirnya orang Cina Han di Xinjiang ini, kabarnya, merupakan keinginan dari Pemerintah Komunis Beijing. Beijing hendak melunturkan populasi etnis minoritas, dengan demikian kontrol terhadap daerah lebih mudah dilakukan. Wang Lequan, seorang pejabat teras Partai Komunis, membantah analisis ini. Pekerja-pekerja migran di Xinjiang, kata Wang, hanyalah mengisi lapangan kerja yang lowong. “Banyak minoritas Xinjiang tidak suka kotor dan kerja berat,” kata anggota Politburo ini di hadapan wartawan di Urumqi.

Meski demikian, Wang menyadari bahwa orang Uighur itu berbahaya. “Mereka telah berkali-kali mengirim pasukan bersenjata di Xinjiang dan mengorganisasi tindak-tindak kekerasan,” ujar Wang. Lebih dari 1000 orang Uighur, kata Wang, dilatih di kamp-kamp al-Qaedah atau Taliban sebelum Amerika Serikat menginvasi Afganistan di akhir 2001. Kelompok ekstrem Uighur ini kini tengah berupaya menciptakan ledakan kekerasan di Xinjiang.

“Xinjiang telah menghadapi berbagai serangan berat dari kaum nasionalis-separatis-teroris sejak 1990-an,” tutur Wang. Serangan Uighur pada 1990-an, kata Wang, telah mengakibatkan setidaknya 160 jiwa tewas, dan lebih dari 400 orang luka-luka, termasuk tokoh-tokoh agama dan kader-kader partai. Pada 2001 lalu, orang Uighur juga melancarkan serangan ke Xinjiang.

Pemerintah Beijing pun semakin bersikap keras terhadap orang Uighur. Sejauh ini, kata Wang, polisi telah menghancurkan 22 sel pemberontak Uighur, dan menvonis lebih dari 50 orang, termasuk ekskusi mati.

Etnis Uighur sendiri memandang bahwa kekerasan yang dilakukan sebagian dari mereka merupakan luapan atas ketertindasan yang mereka rasakan. “Jika sekelompok orang terus didesak ke sudut, ditelanjangi hak-haknya, itu akan membuat mereka lebih radikal, memaksa mereka untuk menyerang balik,” kata Alim Seytoff. Seytoff adalah sekretaris jendral Uyghur American Association, sebuah kelompok eksil di Amerika Serikat yang menampung 1000-an orang Uighur.

Apa yang dialami etnis Uighur sebenarnya tak jauh beda dengan yang terjadi pada warga Tibet. Orang Tibet mengalami tekanan keras dari Pemerintah Beijing, mereka dihalangi hak-haknya untuk mempraktikkan keyakinan dan kebudayaannya. Akibatnya, beberapa kali, orang Tibet pun melancarkan aksi-aksi kekerasan. Tapi, orang Tibet masih lebih beruntung. “Tibet tak pernah mendapat label teroris,” kata Gladney, peneliti dari University of Hawaii itu.

Sedangkan Uighur senantiasa mendapat cap teroris, terutama dari Pemerintah Beijing. Ini membuat Beijing memiliki legitimasi yang kuat untuk melakukan tekanan, bahkan melakukan pemberantasan, terhadap Uighur. Padahal, sepanjang penelitian Gladney, seperti tertuang dalam artikelnya dalam Xinjiang, China’s Muslim Borderland – Studies of Central Asia and The Caucasus, tidak ada terorisme terorganisasi di Xinjiang.

Lebih parah lagi, etnis Uighur minim dukungan internasional. Berbeda dengan Tibet, di mana aktor Richard Gere berbicara lantang ke seluruh dunia saat Pemerintah Beijing menangkapi pendeta-pendeta Tibet, etnis Uighur tak punya siapa-siapa. “Seluruh komunitas internasional bereaksi. Tapi ketika mereka (Beijing) melakukan hal yang sama kepada kami, tak ada yang peduli,” keluh Seytoff.

Kondisi demikian ini rupanya membuat banyak etnis Uighur tersingkir dari tanah airnya sendiri. Sultan Kurash, untuk sekadar bernyanyi dan memetik dutar, harus angkat kaki dari Xinjiang. Sultan juga harus membawa anak, istri, dan ibunya ke tanah rantau, Eskiltuna. Di sini, Sultan bisa berhubungan dengan orang-orang eksil Uighur lainnya, juga dengan komunitas musik rakyat Swedia sendiri.

Sedangkan Aigul Memet dan Gulnar Wayit, untuk sekadar unjuk kebolehan bermain akrobat, harus terlempar ke Toronto. Gulnar malah tak bisa membayangkan bakal kembali ke negerinya. “Kita tak punya rumah untuk kembali. Kepala kita akan menggelinding jika kita dikirim kembali ke Cina,” kata Gulnar, sembari tangannya memperagakan adegan memotong leher.

Dan, di Distillerry District itu, masih dengan iringan musik jazz, warga Toronto dibuat berdecak menyaksikan kelenturan dan kelincahan aksi akrobatik Aigul dan Gulnar. Tak banyak yang tahu, apakah keduanya beratraksi dengan jiwa riang, ataukah dengan hati yang pahit. *
Majalah Syir'ah, Mancanegara, November 2004
Oleh Mujtaba Hamdi

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons