About

check

Sabtu, 27 September 2008

Muslim Tionghoa di Indonesia

Awal kedatangan Muslim Tionghoa di Nusantara tidak diketahui secara tepat
waktunya seperti juga awal kedatangan etnis Tionghoa ke nusantara ini, kecuali
dari riwayat dan bukti sejarah berupa peninggalan benda-benda arkeologis dan
antropologis yang berhubungan dengan kebudayaan Cina yang ditemukan.

Hal ini membuktikan bahwa hubungan dagang antara negeri Cina dengan Nusantara sudah
terjadi sebelum masehi.
Sebagai agama, Islam masuk dan berkembang di negeri Cina, melalui jalur
perdagangan. Begitu pula Islam masuk ke Nusantara. Kebanyakan sarjana
berpendapat bahwa peristiwa masuknya agama Islam ke Cina, terjadi pada
pertengahan abad VII. Saat itu kekhalifahan Islam yang berada di bawah
kepemimpinan Utsman bin Affan (557-656M) telah mengirim utusannya yang pertama
ke Cina, pada tahun 651 M. Ketika menghadap kaisar Yong Hui dari Dinasti Tang,
utusan Khalifah tersebut memperkenalkan keadaan negerinya beserta Islam. Sejak
itu mulai tersebarlah Islam di Cina.




Islam masuk ke Cina melalui daratan dan lautan. Perjalanan darat dari tanah
Arab sampai kebagian barat laut Cina dengan melalui Persia dan Afghanistan.
Jalan ini terkenal dengan nama “jalur sutra”. Sedangkan perjalanan laut melalui
Teluk Persia dan Laut Arab sampai ke pelabuhan-pelabuhan Cina seperti
Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, dan Yangshou dengan melalui Teluk Benggala,
Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.

Muslim Tionghoa di Nusantara ada yang berasal dari imigram Muslim asal Cina
lalu menetap di Nusantara. Ada pula yang memeluk Islam karena interaksi antar
etnis Tionghoa yang sudah ada di Nusantara dengan mereka yang beragama Islam.
Kedatangan imigran Musim Tionghoa ke Nusantara, sebelum dan pada zaman
kerajaan-kerajaan di Nusantara, secara individu-individu. Kedatangan etnis
Tionghoa ke Nusantara dari negeri Cina sebagian besar dengan cara kolektif
(rombongan) beserta keluarga. Kebanyakan dari mereka adalah non Muslim. Mereka
juga hidup terpisah dari penduduk setempat dan tinggal di Pecinan, terutama di
masa kolonial.

Kedatangan etnis Tionghoa dan Muslim Tionghoa dari negeri Cina ke Nusantara,
tujuannya adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi mereka, bukan
tujuan menyampaikan Islam atau berdakwah. Pada umumnya mereka berasal dari
daerah-daerah Zhangzhou, Quanzhou dan provinsi Guangdong. Tapi di zaman
pemerintah Belanda pernah mendatangkan etnis Tionghoa ke Indonesia untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan dan pertambangan milik Belanda.



Meski kedatangan etnis Tionghoa Muslim tidak untuk berdakwah, namun
keberadaan mereka punya dampak dalam perkembangan dakwah. Salah satunya karena
proses asimilasi, perkawinan dengan penduduk setempat yang kemudian menjadi
Muslim.

Demikian pula dengan muhibah pelayaran Laksamana Zheng He (Cheng Ho) ke
Nusantara, pada abad ke XV. Latar belakang muhibah ini adalah perdagangan dan
bermaksud mempererat hubungan antara negara Cina dan Negara-negara Asia Afrika.
Banyak dari anggota muhibah dan anak buah Laksamana Zheng He adalah Muslim,
seperti Ma Huan, Guo Chong Li dan Ha San Sh’ban dan Pu He-ri. Ma Huan dan Guo
Chong-li pandai berbahasa Arab dan Persia. Keduanya bekerja sebagai penerjemah.
Ha San adalah seorang ulama Masjid Yang Shi di kota Ki An. Maka tidaklah aneh
pada daerah-daerah yang disinggahi oleh muhibah tersebut penduduknya banyak
yang beragama Islam.

Pulau, daerah atau kerajaan-kerajaan di Indonesia yang dikunjungi oleh 7
(tujuh) kali muhibah Laksamana Zheng He dari tahun 1425 sampai tahun 1431 M
adalah Jawa, Palembang, Pasai (Aceh), Lamuri, Nakur (Batak), Lide, Aru Tamiang,
Pulau Bras, Pilau Lingga, Kalimantan, Pulau Karimata, Pulau Beliton dll.




Dari Catatan MA Huan, anggota muhibah pelayaran Laksaman Zheng He, bahwa pada
pertengahan abad XV, di kerajaan Majapahit terdapat perantau Cina Muslim yang
berasal dari Zhanghou, Quanzhou dan Provinsi Guangdong.

Dari beberapa sumber seperti dalam Seminar “Masuk dan Berkembangnya Islam Di
Indonesia” yang diselenggarakan di Banda Aceh pada September 1980 dan buku-buku
antara lain “Islam Di Jawa” , “Islamisasi Di Jawa”, Walisanga Menyebar Islam
menurut Babad “Legenda dan Sejarah Lengkap Walisongo”, beberapa wali di antara
Walisanga ada beberapa yang mengalir darah Tionghoa.

Dari riwayat tersebut, Muslim Tionghoa di Nusantara Sudah terbaur dengan
penduduk setempat. Tetapi ketika Kolonial Belanda menginjakkan kakinya di
Nusantara dan sesuai dengan politik pecah belah(devide et impera) mereka
membagi penduduk menjadi tiga golongan. Etnis Tionghoa termasuk golongan Timur
Asing dan pribumi Inlander yang mayoritas beragama Islam diberi fasilitas
tertentu dan sistem politiknya pun dibedakan dengan golongan pribumi. Hal ini
membuat etnis Tionghoa menjadi terpisah dengan penduduk setempat.





Kelompok-kelompok masyarakat etnis Tionghoa di pimpin oleh Kapten, Mayor
Tionghoa, yang pada umumnya dari kalangan non-Muslim. Dari data yang ada,
Kapiten Cina Muslim terakhir, pada pertengahan abad XVII, bernama Caitson,
berganti nama menjadi Abdul Gafur, diangkat menjadi Syahbandar Banten.

Berdasarkan peraturan kolonial Belanda, mereka yang mengikuti tradisi, adat
istiadat suatu golongan menjadi golongan tesebut. Islam mengantar etnis
Tionghoa melebur dan menjadi bagian pribumi. Hal ini berbeda dengan etnis
Tionghoa non-Muslim yang kian terpisah dengan pribumi, seperti air dan minyak.



Pada masa gerakan kemerdekaan, Muslim Tionghoa ikut pula berperan. Salah satu
perannya adalah menjadi peserta dalam peristiwa Sumpah Pemuda.




Pada perkembangannya, jarak yang muncul dengan etnis Tionghoa mengundang
beberapa Muslim Tionghoa untuk memperbaiki kerenggangan tersebut. Salah satunya
adalah Haji Yap Siong yang berasal dari kota Moyen, Cina. Setelah belajar Islam
ia menjadi Muslim pada tahun 1931 dan mendirikan organisasi dakwah yang diberi
nama Persatuan Islam Tionghoa (PIT) di kota Deli Serdang, Sumatera Utara.
Dakwah beliau dimulai dari Sumatera Utara ke Sumatera Selatan dan menyeberang
ke Jawa Barat sampai Jawa Timur. Berdakwah dalam bahasa Mandarin dan memperoleh
izin dakwah pada waktu itu dari pejabat-pejabat Kolonial Belanda.

Pada tahun 1950 bersama Haji Abdul Karim Oei Tjing Hien, kelahiran Bengkulu
yang pada tahun 1930 telah menjadi Konsul Muhamadiyah untuk daerah Sumatera
Selatan. Keduanya bertemu di Jakarta dan mengembangkan PIT. Pada tahun 1953,
Kho Guan Tjin mendirikan organisasi dakwah pula dengan nama Persatuan MUslim
Tionghoa (PMT), di Jakarta. Pada tahun 1954, kedua Organisasi dakwah itu
difusikan. Namun perjalanannya, organisasi ini bubar karena berbeda pandangan
menjelang pemilihan umum pertama tahun 1955.

Pada tanggal 14 April 1961, di Jakarta, atas prakarsa H. Isa Idris, dari
pusat Rohani TNI AD, lahirlah PITI. Sebuah nama dengan kepanjangan Persatuan
Islam Tionghoa Indonesia. Tujuan PITI adalah mempersatukan antara Muslim
Tionghoa dan Muslim Imdonesia, Muslim Tionghoa dengan Etnis Tionghoa dan etnis
Tionghoa dengaan Indonesia Asli.





Pada awal tahun 1972, Kejaksaan Agung RI dengan alasan bahwa agama Islam adalah
agama universal, menganggap PITI tidak selayaknya ada. Tidak ada Islam Tionghoa
atau Islam-Islam lainnya. Maka pada tanggal 15 Desember 1972, Dewan Pimpinan
Pusat PITI memutuskan untuk melakukan perubahan organisasi menjadi Pembina Iman
Tauhid Islam.
Demikian Kiprah Muslim Tionghoa sejak kedatangannya di Nusantara sampai saat
ini di segala bidang kehidupan sesuai dengan profesinya.


Muslim Tionghoa di Indonesia II

Sewaktu lahir pada 14 April 1961 di Jakarta, PITI adalah singkatan dari
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, tetapi kemudian diubah menjadi Persatuan
Iman Tauhid Indonesia. Karena keluar instruksi dari pemerintah (14 Desember
1972) yang menekankan agar organisasi ini tidak berciri etnis tertentu,
walaupun PITI tetap merupakan wadah berhimpunnya orang-orang Tionghoa Muslim.

Kemudian PITI kembali menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia yang
ditetapkan dalam rapat pimpinan organisasi pada pertengahan Mei 2000. Dengan
demikian, dapat dikatakan PITI saat ini kembali ke Khittah (garis perjuangan)
semula, yakni organisasi yang tegas menyebut diri sebagai wadah berhimpunnya
orang-orang Tionghoa Muslim. Tujuannya adalah mengembangkan dakwah di kalangan
orang-orang Tionghoa, baik yang sudah menjadi muslim maupun yang belum. Yang
sudah muslim ditingkatkan pengetahuan dan pengamalan Islamnya, sedang yang
belum muslim diberi penjelasan tentang Islam.





Namun dalam muktamar tahun 2000 di Jakarta, terjadi perdebatan di antara
peserta mengenai kepanjangan PITI, apakah kembali kepada Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia ataukah Persatuan Iman Tauhid Indonesia. Sebagian peserta
menghendaki kembali kepada Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, karena itulah
nama organisasi ini sewaktu didirikan dan ingin kembali berkiprah untuk
komunitas Tionghoa muslim khususnya. Sebagian lainnya ingin mempertahankan
Persatuan Iman Tauhid Indonesia, karena organisasi ini harus terbuka bagi semua
orang Islam, walaupun mengutamakan keturunan Tionghoa Muslim.

Untuk menyelesaikan perdebatan itu, maka disepakati untuk menggunakan kedua
kepanjangan itu bagi PITI, sehingga kepanjangannya menjadi Persatuan Iman
Tauhid Indonesia d/h Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Keputusan itu diambil,
karena para peserta sepakat bahwa PITI mengutamakan Tionghoa, tetapi terbuka
bagi pribumi muslim.



Sejak semula PITI yang didirikan oleh H. Abdul Karim Oey Tjeng Hien, H.
Abdusomad Yap A. Siong, Kho Goan Tjin, dan kawan-kawan, dimaksudkan sebagai
organisasi dakwah untuk membantu orang-orang Tionghoa yang ingin masuk Islam,
mempelajari Islam, dan mengamalkan Islam melalui kegiatan sosial.

Menurut penelitian-penelitian yang pernah dilakukan belum ada data yang pasti
mengenai jumlah penduduk Tionghoa Muslim di Indonesia, tetapi pimpinan PITI
memperkirakan jumlah penduduk Tionghoa ada 10 juta orang, sedang seorang ahli
Cina dari Universitas Indonesia, A. Dahana mencatat 7.200.000 orang, dan
seorang peneliti masalah Cina dari Universitas Nasional Singapura menduga ada
5.700.000 orang Tionghoa.

Dari jumlah itu orang Tionghoa Muslim menurut pimpinan PITI mencapai 5 (lima)
persen, seorang pemerhati tentang Tionghoa muslim HM. Ali Karim memperkirakan
Tionghoa Muslim hanya 2 (dua) persen, dan seorang tokoh Tionghoa Muslim yang
sangat terkenal yaitu Drs. H. Junus Jahya menduga penduduk Tionghoa Muslim
hanya sekitar 1 (satu) persen dari total penduduk Tionghoa di Indonesia. Angka
manapun yang diikuti, baik yang mengatakan 5 (lima) persen, apalagi yang
menduga hanya 1 (satu) persen, penduduk Tonghoa Muslim memang masih sangat
sedikit, sehingga dakwah di kalangan mereka terasa sangat perlu dan mendesak.
Tetapi dakwah di kalangan mereka tidak dimaksudkan untuk mengajak masuk Islam,
tetapi terutama adalah meluruskan pemahaman mereka yang keliru tentang Islam.
Misalnya karena banyak penduduk pribumi muslim yang miskin dan kurang terdidik,
maka timbul persepsi yang salah dikalangan orang-orang Tionghoa seolah-olah
kalau masuk Islam akan membuat mereka miskin dan bodoh.
Kesalahpahaman ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan orang-orang
Tionghoa enggan masuk Islam selama ini.




Karena itu, perlu dijelaskan bahwa Islam tidak menghendaki penganutnya miskin
dan bodoh. Islam malah mengharuskan pemeluknya untuk mencari harta yang
sebanyak-banyaknya asal caranya halal dan mewajibkan penganutnya untuk menuntut
ilmu pengetahuan setinggi-tingginya di bidang apa saja yang bermanfaat bagi
masyarakat dan menuntut ilmu pengetahuan boleh dimana saja. Ada sebuah hadist
yang sangat populer: “tuntutlah ilmu walau di negeri Cina.”

Pengertian itulah yang perlu disampaikan kepada orang-orang Tionghoa. Setelah
mereka mengerti hal itu lalu mereka masuk Islam atau tidak itu sepenuhnya
terserah mereka. Sebab masuk suatu agama, termasuk Islam, tidak boleh dipaksa,
tetapi harus didasarkan atas keimanan dan kesadaran pribadi agar dapat menerima
dan mengamalkam Islam dengan ikhlas.

Faktor lain yang menyebabkan PITI bertambah penting peranannya saat ini
adalah terjadinya perubahan politik, yakni runtuhnya Orde Baru dan munculnya
era reformasi. Perubahan politik ini mendorong terjadinya perubahan sikap
orang-orang Tionghoa ke arah yang terbuka kepada orang-orang pribumi, yang
kemudian mereka terdorong masuk Islam, karena mayoritas golongan pribumi itu
muslim.

Pada masa Orde Baru banyak orang Tionghoa bersikap eksklusif, karena bisnis
mereka maju dengan pesat berkat fasilitas dari pemerintah, sehingga mereka
merasa untuk berbisnis tidak terlalu mendesak bekerjasama dengan golongan
pribumi. Kalau kerjasama dengan pribumi biasanya mereka lakukan dengan
oknum-oknum pemerintah dan orang-orang yang dekat penguasa.




Dengan demikian, hidup mereka cenderung eksklusif, sehingga kurang mendapat
dorongan masuk Islam, kecuali mereka hatinya mendapat hidayah dari Allah atau
menikah dengan pribumi muslim. Namun dengan runtuhnya Orde Baru dan diganti
oleh era reformasi yang diharapkan memberi kesempatan yang sama kepada golongan
pribumi dan nonpribumi dalam berusaha, maka orang-orang Tionghoa tidak bisa
lagi berlindung pada kekuasaan. Akibatnya orang-orang Tionghoa harus lebih
banyak berinteraksi dan bekerjasama dengan golongan pribumi. Interaksi dan
kerjasama yang semakin luas bisa menjadi salah satu dorongan kuat bagi
orang-orang Tionghoa untuk masuk Islam.

Karena itu, bisa diduga bahwa pada era reformasi ini akan banyak orang-orang
Tionghoa masuk Islam. Untuk mengantisipasi perkembangan ini, maka PITI harus
tegas menyebut diri sebagai organisasi Tionghoa agar mudah dikenali oleh
orang-orang Tionghoa yang hendak masuk Islam.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons