About

check

Selasa, 10 Maret 2009

Wahabi dan Ahlusunnah

Thursday, 17 April 2008
Oleh: Ayatullah Ja'far Subhani Akhir-akhir ini marak perkembangan gerakan “keagamaan&Idquo; yang disebut
sebagai gerakan Salafi. Sering mereka mengklaim bahwa mereka hadir untuk menghidupkan kembali ajaran ulama salaf
untuk menyelamatkan umat dari amukan dan badai fitnah yang melanda dunia Islam hari ini. Acapkali gerakan ini
menegaskan bahwa kelompok yang selain mereka tidak ada jaminan memberikan alternatif (baca: keselamatan). Tidak
jarang juga mereka mengklaim bahwa golongan yang selamat yang dinubuatkan oleh Nabi Saw adalah golongan
mereka.

Tentu saja, konsekuensi dari klaim ini adalah menafikan kelompok yang lain. Artinya bahwa kelompok mereka yang benar selainnya adalah sesat (itsbat asy-syai yunafi maa adahu). Kalau kita mau berkaca pada sejarah, gerakan Salafi ini sebenarnya bukan gerakan baru. Mereka bermetamorfosis dari gerakan pemurnian ajaran Islam Wahabi yang
dikerangka konsep pemikiranyna oleh Ibn Taimiyah yang kemudian dibesarkan oleh muridnya Muhammad bin Abdulwahab, menjadi geraakan Salafi. Metamorfosis ini jelas untuk memperkenalkan ajaran usang dengan pendekatan dan nama baru.
Pertanyaan yang mendasar yang harus diajukan di sini adalah apakah Salafi itu identik dengan mazhab jumhur, Ahlusunnah? Kalau tidak identik, bagaimana pandangan Ahlusunnah terhadap kelompok Salafi ini (Wahabi)?

Bagaimanakah sikap ulama Ahlsunnah terhadap kelompok ini, dan literatur-literatur tekstual apa saja yang telah ditulis oleh para ulama ahli sunnah untuk menjawab pemikiran Wahabi? Tulisan ringan ini berusaha menjawab pertanyaanpertanyaan
asumtif di atas. Kami persilahkan Anda untuk menyimak tulisan berikut ini yang merupakan hasil wawancara jurnal Kalam Islami dengan Ayatullah Ja'far Subhani.

Founding Father Wahabi Wahabi adalah sebuah aliran pemikiran yang muncul pada awal abad ke-8 H. yang dicetuskan
oleh Ahmad ibn Taimiyah, ia lahir pada tahun 661 HQ, 5 tahun setelah kejatuhan pemerintahan khilafah Abbasiyah di Baqdad. Pemikiran kontroversialnya yang ia lontarkan pertama kali pada tahun 698, pada masa mudanya dalam risalahnya yang bernama (Aqidah hamwiyah), sebagai jawaban atas pertanyaan masyarakat Hamat (Suriah) dalam menafsirkan ayat (Ar-rahman ala al-Arsy istawaa) artinya: “Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy” dimana ia mengatakan bahwa; Allah Swt bersemayam di atas kursi di langit dan bersandar padanya.
Risalah tersebut dicetak dan disebarkan di Damaskus dan sekitarnya, yang menyebabkan para ulama Ahlusunnahdengan suara bulat melakukan kritikan dan kecaman terhadap pemikirannya, akan tetapi dengan berlalunya waktu, Ibn Taimiyah dengan pemikiran kontroversialnya malah semakin berani.
Dengan alasan itulah, pada akhirnya di tahun 705 pengadilan menjatuhkan hukuman pengasingan ke Mesir. Kemudian pada tahun 712 Ia kembali lagi ke Syam.
Di Syam Ibn Taimiyah kembali bergerilya melakukan penyebaran paham-paham kontroversial.
Akhirnya pada tahun 721 dia dimasukan ke dalam penjara dan pada tahun 728 Ia meninggal di dalam penjara.Penyikapan dan tulisan-tulisan para ulama terkemuka Ahlusunnahpada waktu itu, merupakan sebuah bukti dalam catatan sejarah yang tidak akan pernah terhapus atas penolakan pemikiran Ahmad Ibn Taimiyah.Ibn Batutah misalnya; yang terkenal sebagai seorang pengelana dalam catatan perjalanannya, atau masyhur dengan “peninggalan Ibn Batutah” beliau menulis :
Ketika saya di Damaskus, saya melihat Ibn Taimiyah berceramah dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, akan tetapi sangat disayangkan ceramahnya itu terkesan tidak memiliki sisi rasionalitas,
[1] lanjut beliau: Ibn Taimiyah pada hari
jumat di sebuah mesjid sedang memberi nasehat dan bimbingan kepada hadirin, dan saya turut hadir dalam acara tersebut, salah satu dari isi ceramah Ibn Taimiyah adalah sebgai berikut: “Allah SWT dari atas Arsy turun ke langit
pertama, seperti saya turun dari mimbar, pernyataan tersebut dia lontarkan dan dengan segera dia pun satu tangga turun dari mimbarnya,”

tiba-tiba seorang Faqih mazhab Maliki yang bernama Ibn Zuhra berdiri, dan menolak
pandangan ibnu taimiyyah. para jemaah pendukung Ibn Taimiyah berdiri, dan mereka memukul faqih mazhab Maliki yang protes tersebut dan melemparinya dengan sepatu.

[2]Itulah salah satu contoh aqidah Ibn Taimiyah yang disaksikan secara langsung oleh ibn batutah sebagai saksi yang netral dan tidak berpihak, dia mendengar dengan telinganya secara langsung dan melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Semoga Allah melindungi kita dari orang-orang menjelaskan aqidah dan makrifat Islam berdasarkan pemikiran tersebut Tak syak lagi bahwa Ibn Taimiyah dengan
berbagai kelemahan yang dimiliki, tetap mmiliki sisi positif walaupun sangat terbatas (Tak ada keburukan mutlak di dunia).
Dan yang disayangkan adalah para pengikutnya hanya melihat sisi positif Ibn Taimiyah saja, dan menolak serta menutup-nutupi sisi kelemahan dan negatifnya secara membabi buta. Bagaimanapun juga bagi para pemikir yang bebas dan merdeka yang lebih mencintai kebenaran hakiki daripada Plato akan melihat arah positif dan negatifnya dan mengkritisi pemikiran ibnu taimiyyah, orang-orang di bawah ini dapat dikategorikan sebagai para pakar dan akademisi Syam dan Mesir di zamannya, mereka mengatakan bahwa pemikiran Ibn Taimiyah telah merubah ajaran-ajaran para nabi
dan wali Allah.
Dan untuk menolak dan mengkritisi pemiiran ibn Taimiyyah mereka menulis buku sebagai berikut:
1. Syeikh Sofiyuddin Hindi Armawi (644-715Q)
2. Syeikh Syahabuddin bin Jahbal Kalabi Halabi (733)
3. Qadhi al-Qodhaat Kamaluddin Zamlakany (667-733)
4. Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Dzahabi(748)
5. Sadruddin Marahhil ( wafat 750)
6. Ali bin Abd al Ka’fi Subki ( 756)
7. Muhammad bin Syakir Kutby (764)
8. Abu Muhammad Abdullah As’ad Yaafi’i (698-768)
9. Abu Bakar Hasni Dimasyqy (829)
10. Shahabuddin Ahmad bin Hajar‘Asqalany (852)
11. Jamaluddin Yusuf bin Taqari Ataabaqi (812-874)
12. Shahabuddin bin Hajar Ha’itami(973)
13. Mulla Ali Qari Hanafi (1016)
14. Abul Ais Ahmad bin Muhammad Maknasi terkenal dengan Abul Qadhi’(960-1025) 15. Yusuf bin Ismail bin Yusuf Nabhani(1265-1350)
16. Syeikh Muhammad Kausari Misry (1371)
17. Syeikh Salamah Qadha’i Azami (1379)
18. Syeikh Muhammad Abu Zahrah (1316-1396)[3]Sebagian dari mereka menulis
buku khusus untuk mengkritik pemikiran Ibn Taimiyah.
Seperti Taqiyuddin Subki dalam kritiknya terhadap Ibn Taimiyah menulis dua buah kamib yang berjudul Syifau al siqomi fi ziarati khoirul anami dan Ad-Durrot al madiati fii radi ala Ibni taimiyah).Kritikan yang terus menerus yang dilakukan oleh para cendekiawan muslim sunni terhadap Ibn Taimiyah
menyebabkan doktrin-doktrin pemikirannya terkubur, dan dengan berlalunya zaman ajarannya perlahan-lahan terlupakan, aliran pemikiran ibn taimiyyah tidak ada yang tersisa kecuali dalam buku-buku yang ditulis oleh muridnya
yang bernama Ibn Qayyum Jauzi (691-751), bahkan ibn Qayyum dalam kitab (Ar-Ruuh) menentang pandangan gurunya
Telaga Hikmah
http://telagahikmah.org/

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons